Monday, December 22, 2014
Friday, November 7, 2014
MENGATASI KEJENUHAN DALAM BERIBADAH
Setiap
orang yang berkompetensi dalam kebaikan tentu merasakan kelelahan dalam medan
tersebut, demikian pula halnya dengan aktivitas yang membutuhkan waktu juga
merasakan kelelahan, kelesuan dan kejenuhan karena hal demikian sudah merupakan
sifat kewajaran alami yang dimiliki oleh manusia, kecuali Malaikat mereka
semata-mata menyembah dan mengabdi ke hadirat Allah SWT. Tanpa merasa letih,
lemah dan jenuh. Hal ini diungkapkan Allah dalam firman-Nya :
Artinya
: Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di
langit dan di bumi. dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada
mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka
selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.
(Al-Anbiya’ 19-20)
Demikianlah
kondisi malaikat, sedang manusia sesungguhnya mereka itu lemah dalam menelusuri
pencapaian menuju Allah SWT, kadangkala suka melanggar apa yang telah
ditentukan bahkan menghapus ketentuan yang ada.
Nafsu
itu memiliki dua arus yang kontradiksi dan bertolak belakang dan tidak ada
ketiganya yaitu melaksanakan ketentuan hukum-hukum Allah atau meninggalkannya
dan masing-masing telah mengetahui mekanisme kerjanya, sebagaimana telah
dikatakan pakar psikologi Ibnu Qoyim Aj-Jauzi ra. “sesungguhnya hati itu memiliki dorongan emosi yang sangat kuat
melaksanakan suatu pekerjaan, juga dorongan emosi yang kuat untuk meninggalkan
suatu pekerjaan”. Maka jagalah hati itu disaat kuat dorongan emosinya dan
pengaruhilah ia disaat mengalami penurunan kemauan oleh emosinya untuk melaksanakan suatu
pekerjaan.
Oleh
karenanya, hendaklah kita selalu berusaha untuk dapat menyiasati jiwa kita sehingga
dapat melanjutkan perjalanan dalam
menempuh pendakian mencapai pendekatan diri kepada Allah SWT.
KONDISI
IQBAL (kuatnya dorongan untuk beribadah)
Disaat
emosi kita sangat kuat begelora untuk melaksanakan kebaikan, hendaklah kita
berupaya semaksimal mungkin memperbanyak amal saleh dan ibadah lainnya, baik
dengan ibadah nawafil (sunah) atau membiasakan diri melaksanakan di malam hari
dan siang hari.
KONDISI
IDBAR (kuatnya dorongan untuk tidak
beribadah)
Disaat
emosi kita lemah, maka paksakan diri untuk melaksanakan yang fardlu dan wajib
saja sambil berusaha mempengaruhinya dengan lemah lembut sehingga dapat
dilaksanakan dengan baik. Apabila telah dilaksanakan maka tekan dan usahakan
untuk dapat melaksanakan ibadah lebih lanjut.
Para
Sahabat Rasulullah juga mengalami problema dalam masa keletihan, kelelahan dan
kejenuhan ini. Salah seorang Sahabat menghadap Rasulullah dan berkata “Wahai Rasulullah tahukan engkau apa yang
harus kami lakukan jika merasa lelah dan jenuh dalam melaksanakan suatu amal ?
Rasulullah
Saw. Bersabda Artinya
: “Tahanlah dirimu dari berbuat jahat
terhadap sesama manusia, sesungguhnya yang demikian itu merupakan shadaqah dari kamu untuk dirimu sendiri”
Itulah
nasehat mulia dan bijaksana dari baginda Rasulullah yang mengarahkan manusia
tatkala merasa jenuh dan enggan untuk beramal, suatu pekara yang mudah cukup
dengan menahan diri dari berbuat kejahatan, karena yang demikian itu merupakan
shadaqah bagi diri sendiri.
Hal
ini merupakan seni tersendiri dalam berbuat kebajikan terhadap individu, disaat mengalami rasa
jenuh dan lelah dalam beramal. Janganlah anda bersifat keras terhadap diri
sendiri bagai kayu yang keras, kelak ia akan mudah patah terbelah, atau jangan
pula lemah bagai jeruk karena kelak akan mudah diperas. Bersikaplah anda sebijak
mungkin dalam berinteraksi dengan jiwa anda. Dan sudah sewajarnyalah kalau kita
mengalami rasa lelah di tengah perjalanan namun demikian berusahalah sedikit
tidur.
Thursday, November 6, 2014
Monday, October 6, 2014
Friday, August 22, 2014
KABAR DARI NERAKA
"Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal." [At Taubah , Ayat 68]
Al Qur’an dengan jelas telah menggambarkan tentang neraka dan syurga termasuk ucapan2x penghuninya :
“Mereka menjawab,ya Allah.Engkau telah mematikan kami dua kali lalu kami mengakui kesalahan dosa2 kami.Maka adakah sesuatu jalan(bagi kami)untuk keluar dari neraka? (QS.Al Mukmin;11)
Ya Allah,keluarkanlah kami darinya dan kembalikan kami ke dunia. Jika kami kembali (jg kpd kekafiran) sesungguhnya adalah org2 zalim.(QS.Al-Mumin)
Berdasarkan keterangan yang tertulis dalam kitab "As-Sab'iyatu Fi Mawa'idzil Birriyat", bahwa sesungguhnya Allah menciptakan neraka pada hari ahad. Di situ disebutkan pula bahwa neraka itu mempunyai tujuh pintu atau tujuh tingkatan. Yazid Ar-Raqqsyi meriwayatkan dari Anas bin Malik. “Malaikat Jibril datang kpd Rosulullahpada waktu yang tidak biasa dengan raut muka yang berbeda dari biasanya.
Rosulullah bertanya: Wahai Jibril,kenapa kumelihat raut mukamu berbeda?
Jibril menjawab:
Wahai Muhammad,aku datang kepadamu pada saat Allah memerintahkan supaya api neraka dinyalakan.Tidak pantas jika orang yang mengetahui bahwa neraka,siksa kubur dan siksa Allah itu sangat dasyat untuk bersenang sebelum dirinya merasa aman dari ancaman2 itu.
Rosulullah menjawab: Wahai Jibril..lukiskanlah keadaan neraka itu kepadaku.
Jibril berkata:
Baik..Ketika Allah swt menciptakan neraka,apinya dinyalakan seribu tahun hingga berwarna hitam pekat,nyala dan baranya tidak pernah padam.
Demi DZAT yang mengutus engkau kebenaran,seandainya neraka itu berlubang sebesar lubang jarum,niscaya segenap penghuni dunia akan terbakar karena panasnya.
Demi Dzat yg mengutus Engkau dengan kebenaran sbg Nabi,seandainya ada baju penghuni neraka itu digantung diantara langit dan bumi,niscaya semua penghuni dunia akan mati karena bau busuk dan panasnya.
Demi Dzat yg mengutus Engkau kebenaran sbg Nabi,seandainya sehasta dari mata rantai sbgmn yg disebutkan didalam al qur’an diletakkan di puncak gunung,niscaya bumi sampai kedalamnya akan meleleh.
Demi Dzat yang mengutus Engkau kebenaran sbg Nabi,seandainya ada seorang berada di ujung barat dunia ini di siksa,niscaya org yg berada di ujung timur akan terbakar karena panasnya.
Neraka itu mempunyai 7 pintu dan masing2 pintu dibagi2 untuk laki-laki dan perempuan.
Rosulullah bertanya;
“Apakah pintu2 itu seperti pintu kami?”
Jibril menjawab;
“Tidak.Pintu itu selalu terbuka dan pintu yg satu berada dibawah pintu yang lain.Jarak pintu yg satu dgn pintu yg lain sejauh perjalan 70 tahun. Pintu yang dibawahnya lebih panas 70 x lipat dari pintu yg diatasnya. Musuh 2 Allah diseret kesana dan jk mrk sampai di pintu itu malaikat Zabaniyah menyambut mrk dgn membawa rantai dan belenggu.
Rantai itu dimasukkan ke dalam mulutnya dan keluar dari duburnya, sedangkan tangan kirinya dibelenggu dengan lehernya, dan tangan kanannya dimasukkan ke dalam dada hingga tembus ke bahu.Setiap orang yang durhaka itu dirantai bersama setan dalam belenggu yang sama, lantas diseret wajahnya tersungkur dan dipukul oleh malaikat dengan palu. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalam neraka."
Rosulullah bertanya, "Siapakah penghuni masing-masing pintu itu?"
Jibril menjawab,
"Pintu yang paling bawah namanya Hawiyah
Pintu neraka Hawiyyah ini adalah pintu neraka yang paling bawah (dasar), yang merupakan neraka yang paling mengerikan. Pintu neraka ini ditempati oleh orang-orang munafik, orang kafir termasuk juga keluarga Fir'aun, dalam neraka Hawiyyah. Hal ini sebagaimana arti dari firman Allah ;"Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyyah" (QS.Al-Qari'ah :9).
Pintu kedua namanya Jahim.
Yakni pintu neraka tingkatan ke 6. Tingkatan neraka ini di atasnya neraka Hawiyyah. Di dalamnya ditempati oleh orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah. Hal ini sebagaimana arti firman Allah ini :"Dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat" (QS.Asy-Syu'araa :91).
Pintu ketiga namanya Saqar tempat arang-orang shabi'in.
Merupakan pintu neraka pada tingkatan ke 5. Di dalam pintu itu ditempati oleh orang-orang yang menyembah berhala atau menyembah patung-patung yang dibuat bangsanya sendiri.Tingkatan pintu neraka ini, terletak di atasnya pintu neraka Jahim. Tentang neraka ini, Allah telah berfirman yang artinya :"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)" (QS. Al-Mudatstsir : 42)
Pintu keempat namanya Ladza
berisi iblis dan orang-orang yang mengikutinya, serta orang Majusi.Merupakan pintu neraka pada tingkatan nomor 4. Di dalamnya ditempati Iblis laknatullah beserta orang-orang yang mengikutinya dan orang-orang yang terbujuk rayuannya. Kemudian orang-orang Majusi pun ikut serta menempati neraka Ladza ini. Mereka kekal bersama Iblis di dalamnya. Tingkatan pintu neraka Ladza ini diatasnya pintu neraka Saqar.
Dalam hal ini Allah telah berfirman :
Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak". (QS. Al-Ma'arij :5).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Iblis dan para pengikutnya akan dimasukkan ke dalam neraka Ladza. Seperti apa yang dikatakan oleh Malaikat Maut (malaikat Izrail) ketika Iblis hendak dicabut nyawanya, maka malaikat maut itu berkata, bahwa Iblis akan diberi minum dari neraka Ladza.
Pintu kelima namanya Huthamah tempat orang-orang Yahudi.
Merupakan pintu neraka pada neraka tingkatan ke 3. Di dalamnya ditempati oleh orang-orang Yahudi dan para pengikutnya. Pintu neraka Huthamah ini, tingkatannya di atas pintu neraka Ladza yang dihuni para Iblis.
Tentang neraka Huthamah ini, Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an :
"Dan tahukah kamu, apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan". (QS. Al-Humazah : 5-6).
Pintu keenam namanya Sa'ir
Merupakan pintu neraka pada neraka tingkatan ke 2.
Di dalamnya ditempati oleh orang-orang Nashrani dan para pengikutnya. Pintu neraka ini berada di atas tingkatan pintu neraka Huthamah. Mengenai neraka ini, Allah Ta'ala telah berfirman :"Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)".(QS. Al-Insyigaq : 12).
Jibril terdiam karena merasa segan kepada Rasulullah Saw.
kemudian Rosulullah bertanya,
"Kenapa engkau tidak memberitahukan penghuni pintu yang ketujuh?"
Jibril menjawab, "Namanya pintu neraka Jahanam Merupakan pintu neraka yang paling atas (pertama). Di dalamnya berisi umatmu yang melakukan dosa-dosa besar dan tidak tobat sampai mereka meninggal dunia."
Rosulullah pingsan mendengar penjelasan Jibril tsb. Jibril meletakan kepala Rosulullah di pangkuannya sampai Beliau sadar kembali. Rosulullah bersabda: "Betapa besar cobaan yang menimpaku dan aku merasa sangat sedih. Jadi, ada di antara umatku yang akan masuk neraka?"
Jibril menjawab,
"benar, yaitu umatmu yang mengerjakan dosa-dosa besar.
Kemudian Rasulullah saw. menangis, dan Jibril pun juga ikut menangis. Rasulullah Saw. lantas masuk ke rumahnya dan menyendiri. Beliau hanya keluar rumah jika hendak mengerjakan shalat dan tidak berbicara dengan siapa pun. Dalam shalat beliau menangis dan sangat merendahkan diri kepada Allah Ta’ala.
Pada hari yang ketiga, Abu Bakar r.a. datang ke rumah beliau dan mengucapkan, ”Assalaamu’alaikum, yaa ahla baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan Rasulullah SAW. ?”
Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya, sehingga Abu Bakar menangis tersedu-sedu.
Umar r.a. datang dan berdiri di depan pintu seraya berkata, ”Assalaamu' alaikum, yaa ahlal baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan Rasulullah Saw.?"
Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya, sehingga Umar lantas menangis tersedu-sedu.
Salman Al-Farisi datang dan berdiri di depan pintu seraya berkata,
”Assalaamu'alaikum, yaa ahla baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan junjunganku Rasulullah Saw.?"
Namun tidak ada yang menjawab, sehingga meraka pun menangis dan terjatuh.
Kemudian Salman bangkit dan mendatangi rumah Fathimah. Sambil berdiri di depan pintu ia berkata, " Assalaamu' alaikum, wahai putri Rasulullah Saw”
sementara Ali r .a. sedang tidak ada di rumah.
Salman lantas berkata, "Wahai putri Rasulullah Saw ., dalam beberapa hari ini Rasulullah Saw. suka menyendiri. Beliau tidak keluar rumah kecuali untuk shalat dan tidak pemah berkata-kata serta tidak mengizinkan seseorang untuk masuk ke rumah beliau."
Fathimah lantas pergi ke rumah beliau(Rosulullah). Di depan pintu rumah Rasulullah Saw. Fathimah mengucapkan salam dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya adalah Fathimah."
Waktu itu Rasulullah Saw. sedang sujud sambil menangis, lantas mengangkat kepala dan bertanya, ”Ada apa wahai Fathimah, Aku sedang menyendiri. Bukakan pintu untuknya."
Maka dibukakanlah pintu untuk Fathimah.
Fathimah menangis sejadi-jadinya, karena melihat keadaan Rasulullah yang pucat pasi, tubuhnya tampak sangat lemah, mukanya sembab karena banyak menangis.
Fathimah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang sedang menimpa dirimu wahai ayahku?"
Beliau bersabda, "Wahai Fathimah, Jibril datang kepadaku dan melukiskan keadaan neraka. Dia memberitahu kepadaku bahwa pada pintu yang teratas diperuntukkan bagi umatku yang mengerjakan dosa besar. Itulah yang menyebabkan aku menangis dan sangat sedih."
Fatimah bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana mereka masuk ke neraka itu?"
Beliau bersabda, "Mereka digiring ke neraka oleh malaikat. Wajah mereka tidak hitam, mata mereka tidak biru, mulut mereka tidak disumbat, dan mereka tidak dibelenggu ataupun dirantai."
Fatimah bertanya," Wahai Rasulullah, bagaimana sewaktu mereka digiring ke eraka oleh malaikat?"
Beliau bersabda, "Laki-laki ditarik jenggotnya, sedangkan perempuan dengan ditarik rambut ubun-ubunnya. Banyak di antara umatku yang masih muda, ketika ditarik jenggotnya untuk digiring ke neraka berkata, ”Betapa sayang kemudaan dan ketampananku.
”Banyak di antara umatku yang perempuan ketika ditarik ke neraka berkata, ”Sungguh aku sangat malu.” Ketika malaikat yang menarik umatku itu sampai ke neraka dan bertemu dengan Malik, Malik bertanya kepada malaikat yang menarik umatku itu, ”Siapakah mereka itu? Aku tidak pernah melihat orang-orang yang tersiksa seperti mereka. Wajah mereka tidak hitam, mata mereka tidak biru, mulut mereka tidak disumbat, mereka tidak dibarengkan dengan golongan setan, dan mereka tidak dibelenggu atau diikat lehernya?”
Malaikat itu menjawab, "Kami diperintahkan untuk membawa mereka kepadamu dalam keadaan seperti itu.” Malik berkata kepada mereka, ”Wahai orang-orang yang celaka, siapakah sebenarnya kalian ini?” (Dalam hadis yang lain disebutkan, bahwa ketika mereka ditarik oleh malaikat, mereka selalu menyebut-nyebut nama Muhammad. Ketika mereka melihat Malik, mereka lupa untuk menyebut nama Muhammad SAW. karena seramnya Malaikat Malik).
Mereka menjawab,”Kami adalah umat yang diturunkan Al-Quran kepada kami dan termasuk orang yang mengerjakan puasa pada bulan Ramadhan.”
Malik berkata, "Al-Quran hanya diturunkan untuk umat Muhammad Saw .” Ketika mendengar nama Muhammad, mereka berteriak seraya berkata, 'Kami termasuk umat Muhammad Saw” .
Malik berkata kepada mereka, ”Bukankah di dalam Al-Quran ada larangan untuk mengerjakan maksiat-maksiat kepada Allah Ta'ala?” Ketika mereka berada di tepi neraka dan diserahkan kepada Malaikat Zabaniyah, mereka berkata, ”Wahal Malik, izinkanlah kami untuk menangisi nasib kami.” Malik mengizinkannya, dan mereka lantas menangis dengan mengeluarkan darah.
Malik lantas berkata, ”Alangkah baiknya, seandainya tangis ini kamu lakukan sewaktu berada di dunia. Seandainya sewaktu di dunia kamu menangis seperti ini karena takut kepada siksaan Allah, niscaya sekarang ini kamu tidak akan masuk neraka.”
Malik lalu berkata kepada Zabaniyah, ”Lemparkan, lemparkan mereka ke dalam neraka.” Ketika mereka dilempar ke dalam neraka, mereka berseru secara serempak mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallah...., sehingga api neraka langsung menjadi padam. Kemudian Malik berkata, ”Wahai api, sambarlah mereka!” Api itu menjawab, ”Bagaimana aku menyambar mereka sementara mereka mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah.
Malik berkata lagi kepada api neraka, ”Sambarlah mereka”. Api itu menjawab, ”Bagaimana aku menyambar mereka, sementara mereka mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallah.” Malik berkata, ”Benar, namun begitulah perintah Allah Arasy”.
Kemudian api itu pun menyambar mereka. Di antara mereka ada yang disambar sampai dua telapak kakinya, ada yang disambar sampai dua lututnya, dan ada yang disambar sampai leherya. Ketika api itu akan menyambar muka, Malik berkata, ”Jangan membakar muka mereka, karena dalam waktu yang cukup lama mereka bersujud Kepada Dzat Yang Maha Kuasa.
**********************
Dalam Al-Qur'an, Allah telah mensifati neraka Jahannam sebagai berikut :"Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi gunung".(QS. Al-Mursilat : 32)
"Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut setan) semuanya. (QS. Al-Hijr : 43)
Dari Hadits Qudsi: Bagaimana kamu masih boleh melakukan maksiat sedangkan kamu tak dapat bertahan dengan panasnya terik matahari Ku. Tahukah kamu bahwa neraka jahanamKu itu:
Neraka Jahanam itu mempunyai 7 tingkat
Setiap tingkat mempunyai 70,000 daerah
Setiap daerah mempunyai 70,000 kampung
Setiap kampung mempunyai 70,000 rumah
Setiap rumah mempunyai 70,000 bilik
Setiap bilik mempunyai 70,000 kotak
Setiap kotak mempunyai 70,000 batang pokok zarqum Di bawah setiap pokok zarqum mempunyai 70,000 ekor ular, Di dalam mulut setiap ular yang panjang 70 hasta mengandung lautan racun yang hitam pekat. Juga di bawah setiap pokok zarqum mempunyai 70,000 rantai, Setiap rantai diseret oleh 70,000 malaikat. Wallahu'alambishawab.
Mt.Alfatih - Shella Hanum
SEMOGA BERMANFAAT.
Wednesday, July 23, 2014
Sang Pemimpin yang telah di Jamin Masuk Sorga
Sebagai seorang
khalifah pengganti Abu bakar pada 13 – 23 H ( 634 – 644 M) kekuasaan islam tumbuh dengan sangat pesat.
Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti
Sassanid dari Persia serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara
dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Keberhasilan
Umar bin Khattab dalam menaklukan imperium besar (Persia dan Romawi) tidak
lepas dari sosoknya yang tegas, dan sangat bersahaja. Berikut
kami kisahkan beberapa contoh teladan dari Umar bin khattab :
URMUZAN
dan UMAR BIN KHATTAB
Dengan
ditemani Anas Bin Malik, Hurmuzan datang dengan kebesaran dan kemegahannya.
Dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota keluarganya, Hurmuzan
memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan kemuliaan seorang raja.
Perhiasan yang bertatah permata melekat di dahi. Sementara mantel sutra yang
mewah menutupi pundaknya.Sementara itu sebilah pedang bengkok dengan hiasan
batu-batu mulia menggantung disabuknya. Ia bertanya-tanya dimana Amirul Mu’minin
bertempat tinggal. Ia membayangkan bahwa Umar bin Khattab yang kemasyhurannya
tersebar keseluruh dunia pasti tinggal di Istana yang sangat megah.
Sampai
di Madinah mereka langsung menuju tempat kediaman Umar. Tetapi mereka
diberitahu bahwa Umar sudah pergi ke Masjid sedang menerima delegasi dari
Kufah. Mereka pun bergegas ke Masjid. Tetapi tidak juga bertemu Umar. Melihat
rombongan itu, anak-anak di Madinah mengerti maksud kedatangan mereka. Lalu
diberitahukan bahwa Amirul Mu’minin sedang tidur di beranda kanan masjid dengan
menggunakan mantelnya sebagai bantal seorang diri. Betapa terkejutnya Hurmuzan,
ketika ditunjukan bahwa Umar adalah lelaki yang berpakaian seadanya yang tidur
di Masjid itu. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tak percaya, tetapi memang
itulah kenyataannya.
Sambil
berdecak kagum Hurmuzan mengatakan, “Engkau, wahai Umar, telah memerintah
dengan adil, lalu engkau aman dan engkau pun bisa tidur dengan nyaman”.
TUNJANGAN
UNTUK UMAR BIN KHATTAB
Tatkala
‘Umar ibn al-Khaththâb r.a. diangkat menjadi Khalifah, ditetapkanlah baginya
tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada Khalifah sebelumnya, yaitu
Abû Bakar r.a. Pada suatu saat, harga-harga barang di pasar mulai merangkak
naik. Tokoh-tokoh Muhajirin seperti ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, dan Zubair
berkumpul serta menyepakati sesuatu. Di antara mereka ada yang berkata,
“Alangkah baiknya jika kita mengusulkan kepada ‘Umar agar tunjangan hidup untuk
beliau dinaikkan.Jika ‘Umar menerima usulan ini, kami akan menaikkan tunjangan
hidup beliau.”‘
Alî
kemudian berkata, “Alangkah bagusnya jika usulan seperti ini diberikan pada
waktu-waktu yang telah lalu.”Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah ‘Umar.
Namun, Utsmân menyela seraya berkata, “Sebaiknya usulan kita ini jangan
langsung disampaikan kepada ‘Umar. Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu
melalui puteri beliau, Hafshah. Sebab, saya khawatir, ‘Umar akan murka kepada
kita.”Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada Hafshah seraya
memintanya untuk bertanya kepada ‘Umar, yakni tentang bagaimana pendapatnya
jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai penambahan tunjangan bagi
Khalifah ‘Umar.“Apabila beliau menyetujuinya, barulah kami akan menemuinya
untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami meminta kepadamu untuk tidak menyebutkan
nama seorang pun di antara kami,” demikian kata mereka.Ketika Hafshah
menanyakan hal itu kepada ‘Umar, beliau murka seraya berkata, “Siapa yang
mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?”Hafshah menjawab, “Saya tidak
akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah
tentang usulan itu.
Umar
kemudian berkata lagi, “Demi Allah, andaikata aku tahu siapa orang yang
mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu.”Setelah
itu, ‘Umar balik bertanya kepada Hafshah, istri Nabi saw., “Demi Allah, ketika
Rasulullah saw. masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di
rumahnya?”Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya mempunyai dua pakaian.
Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai
sehari-hari.”‘Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan yang dimiliki oleh
Rasulullah?”Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan
minyak samin.”‘Umar kembali bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di
rumahnya?”Hafshah menjawab lagi, “Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal
yang dipakai untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba,
separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai
alastidur.”‘Umar kemudian melanjutkan perkataannya, “Hafshah, katakanlah kepada
mereka, bahwa Rasulullah saw.
selalu
hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka yang
berhak. Oleh karena itu, aku punakan mengikuti jejak beliau. Perumpamaanku
dengan sahabatku—yaitu Rasulullah dan Abû Bakar—adalah ibarat tiga orang yang
sedang berjalan. Salah seorang di antara ketiganya telah sampai di tempat
tujuan, sedangkanyang kedua menyusul di belakangnya. Setelah keduanya sampai,
yang ketiga pun mengikuti perjalanan keduanya. Ia menggunakan bekal kedua
kawannya yangterdahulu. Jika ia puas dengan bekal yang ditinggalkan kedua
kawannya itu, ia akan sampai di tempat tujuannya, bergabung dengan kedua
kawannya yang telah tiba lebih dahulu. Namun, jika ia menempuh jalan yang lain,
ia tidak akan bertemu dengan kedua kawannya itu di akhirat.”(Sumber: Târîkh
ath-Thabarî, jilid I, hlm. 164).
UMAR
r.a DAN RAKYAT YANG KELAPARAN
Suatu
malam, Sang Khalifah menemukan sebuah gubuk kecil yang dari dalamnya nyaring
terdengar suara tangis anak-anak. Umar mendekat dan memerhatikan dengan seksama
keadaan gubuk itu. Ia dapat melihat ada seorang ibu yang dikelilingi
anak-anaknya.
Ibu
itu kelihatan sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya menangis, sang Ibu
berkata, “Tunggulah! Sebentar lagi makanannya akan matang.”
Selagi
Umar memerhatikan di luar, sang ibu terus menenangkan anak-anaknya dan
mengulangi perkataannya bahwa makanan sebentar lagi akan matang.
Umar
menjadi penasaran. Setelah memberi salam dan meminta izin, dia memasuki gubuk
itu dan bertanya kepada sang ibu, "Mengapa anak-anak Ibu tak berhenti
menangis?”
“Itu
karena mereka sangat lapar,” jawab si ibu.
“Mengapa
tidak ibu berikan makanan yang sedang Ibu masak sedari tadi itu?”
“Tidak
ada makanan. Periuk yang sedari tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan
anak-anak. Biarlah mereka berpikir bahwa periuk itu berisi makanan. Mereka akan
berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur.”
“Apakah
Ibu sering berbuat begini?” tanya Umar ingin tahu.
“Ya.
Saya sudah tidak memiliki keluarga ataupun suami tempat saya bergantung. Saya
sebatang kara,” jawab si ibu datar, berusaha menyembunyikan kepedihan hidupnya.
“Mengapa
Ibu tidak meminta pertolongan kepada Khalifah? Sehingga beliau dapat menolong
Ibu beserta anak-anak Ibu dengan memberikan uang dari Baitul Mal? Itu akan
sangat membantu kehidupan ibu dan anak-anak,” nasihat Umar.
“Khalifah
telah berbuat zalim kepada saya,” jawab si ibu.
“Bagaimana
Khalifah bisa berbuat zalim kepada ibu?” sang Khalifah ingin tahu.
“Saya
sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya
dalam kehidupan nyata. Siapa tahu, ada banyak orang yang senasib dengan saya.”
Umar
berdiri dan berkata, “Tunggu sebentar, Bu. Saya akan segera kembali!”
Pada
malam yang telah larut itu, Umar segera bergegas ke Madinah, menuju Baitul Mal.
Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya. Abbas, sahabatnya
membantu membawa minyak samin untuk memasak.
Maka,
ketika Khalifah menyerahkan sekarung gandum yang besar kepada si ibu beserta
anak-anaknya yang miskin, bukan main gembiranya mereka menerima bahan makanan
dari lelaki yang tidak dikenal ini.
Umar
berpesan agar ibu itu datang menemui Khalifah keesokan harinya untuk
mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal.
Setelah
keesokan harinya, ibu dan anak-anaknya pergi untuk menemui Khalifah. Dan betapa
sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa lelaki yang telah
menolongnya tadi malam adalah Khalifahnya sendiri, Khalifah Umar bin Khattab.
Segera
saja si ibu minta maaf atas kekeliruannya yang telah menilai bahwa khalifahnya
zalim terhadapnya. Namun Sang Khalifah tetap mengaku bahwa dirinyalah yang
telah bersalah.
MENGGALI
PARIT SEORANG DIRI
Umar
bin Khattab tidak saja di kenal sebagai khalifah yang berwibawa, tapi juga
sederhana dan merakyat. Untuk mengetahui keadaan rakyatnya, Umar tak
segan-segan menyamar jadi rakyat biasa.
Ia
sering berjalan-jalan ke pelosok desa seorang diri. Pada saat seperti itu tak
seorang pun mengenalinya bahwa ia sesungguhnya kepala pemerintahan. Kalau ia
menjumpai rakyatnya sedang kesusahan, ia pun segera memberi bantuan.
Umar
sadar, apa yang ada di tangannya saat itu bukanlah miliknya melainkan milik
rakyat. Untuk itu Umar melarang keras anggota keluarganya berfoya-foya. Ia
selalu berhemat dalam menggunakan keperluannya sehari-hari. Karena hematnya,
untuk menggunakan lampu saja keluarga amirulmukminin ini amat berhati-hati.
Lampu minyak itu baru dinyalakan bila ada pembicaraan penting. Jika tidak,
lebih baik tidak pakai lampu.
“Anak-anakku,
lebih baik kita bicara dalam gelap. Sebab, minyak yang digunakan untuk
menyalakan lampu ini milik rakyat!” sahut khalifah ketika anaknya ingin bicara
di tengah malam.
Dalam
hidupnya, Umar senantiasa memegang teguh amanat yang diembankan rakyat di
pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar dimana-mana. Seluruh rakyat
sangat menghormatinya. Rupanya, cerita tentang keagungan Khalifah Umar ini
terdengar pula oleh seorang raja negara tetangga. Raja tertarik dan ingin
sekali bertemu dengan Umar.
Maka
pada suatu hari dipersiapkanlah tentara kerajaan untuk mengawalnya berkunjung
ke pemerintahan Umar. Ketika raja itu sampai di gerbang kota Madinah,
dilihatnya seorang lelaki sedang sibuk menggali parit dan membersihkan got di
pinggir jalan. Lalu, di panggilnya laki-laki itu.
“Wahai
saudaraku!” seru raja sambil duduk di atas pelana kuda kebesarannya.
“Bisakah
kau menunjukkan di mana letak istana dan singgasana Umar?” tanyanya kemudian.
Lelaki itu segera menghentikan pekerjaannya. Lalu, ia memberi hormat.
“Wahai
Tuan, Umar manakah yang Tuan maksudkan?” si penggali parit balik bertanya.”
Umar bin Khattab kepala pemerintahan kerajaan Islam yang terkenal bijaksana dan
gagah berani,” kata raja. Lelaki penggali parit itu tersenyum. “Tuan salah
terka. Umar bin Khattab kepala pemerintahan Islam sebenarnya tidak punya istana
dan singgasana seperti yang tuan duga. Ia orang biasa seperti saya,” terang si
penggali parit,”.
“Ah
benarkah? Mana mungkin kepala pemerintahan Islam yang terkenal agung seantero
negeri itu tak punya istana?” raja itu mengerutkan dahinya.
“Tuan
tidak percaya? Baiklah, ikuti saya,” sahut penggali parit itu.
Lalu
diajaknya rombongan raja itu menuju “istana” Umar. Setelah berjalan menelusuri
lorong-lorong kampung, pasar, dan kota, akhirnya mereka tiba di depan sebuah
rumah sederhana. Diajaknya tamu kerajaan itu masuk dan dipersilakannya duduk.
Penggali parit itu pergi ke belakang dan ganti pakaian. Setelah itu ditemuinya
tamu kerajaan itu. “Sekarang antarkanlah kami ke kerajaan Umar!”kata raja itu
tak sabar.
Penggali
parit tersenyum. “Tuan raja, tadi sudah saya katakan bahwa Umar bin Khattab
tidak mempunyai kerajaan. Bila tuan masih juga bertanya di mana letak kerajaan
Umar itu, maka saat ini juga tuan-tuan sedang berada di dalam istana Umar!”
Hah?!”
Raja dan para pengawalnya terbelalak. Tentu saja mereka terkejut. Sebab, rumah
yang di masukinya itu tidak menggambarkan sedikitpun sebagai pusat kerajaan.
Meski rumah itu tampak bersih dan tersusun rapi, namun sangat sederhana.
Rupanya
raja tak mau percaya begitu saja. Ia pun mengeluarkan pedangnya. Lalu berdiri
sambil mengacungkan pedangnya.
“Jangan
coba-coba menipuku! Pedang ini bisa memotong lehermu dalam sekejap!” ancamnya
melotot.
Penggali
parit itu tetap tersenyum. Lalu dengan tenangnya, ia pun berdiri.” Di sini tidak
ada rakyat yang berani berbohong. Bila ada, maka belum bicara pun pedang telah
menebas lehernya. Letakkanlah pedang Tuan. Tak pantas kita bertengkar di istana
Umar,” kata penggali parit. Dengan tenang ia memegang pedang raja dan
memasukkannya kembali pada sarungnya.
Raja
terkesima melihat keberanian dan ketenangan si penggali parit. Antara percaya
dan tidak, dipandanginya wajah penggali parit itu. Lantas, ia menebarkan
kembali pandangannya menyaksikan “istana” Umar itu. Muncullah pelayan-pelayan
dan pengawal-pengawal untuk menjamu mereka dengan upacara kebesaran. Namun,
raja itu belum juga percaya.
“Benarkah
ini istana Umar?”tanyanya pada pelayan-pelayan.
“Betul,
Tuanku, inilah istana Umar bin Khattab,” jawab salah seorang pelayan.
“Baiklah,”
katanya. Raja memang harus mempercayai ucapan pelayan itu.
“Tapi,
dimanakah Umar? Tunjukkan padaku, aku ingin sekali bertemu dengannya dan
bersalaman dengannya!” ujar sang raja.
Dengan
sopan pelayan itu pun menunjuk ke arah lelaki penggali parit yang duduk di
hadapan raja.” Yang duduk di hadapan Tuan adalah Khalifah Umar bin Khattab”
sahut pelayan itu.
“Hah?!”
Raja kini benar-benar tercengang. Begitu pula para pengawalnya.
“Jad…jadi,
anda Khalifah Umar itu…?” tanya raja dengan tergagap.
Si
penggali parit mengangguk sambil tersenyum ramah.
“Sejak
kita pertemu pertama kali di pintu gerbang kota Madinah, sebenarnya Tuan sudah
berhadapan dengan Umar bin Khattab!” ujarnya dengan tenang.
Kemudian
raja itu pun langsung menubruk Umar dan memeluknya erat sekali. Ia sangat
terharu bahkan menangis melihat kesederhanaan Umar. Ia tak menyangka, Khalifah
yang namanya disegani di seluruh negeri itu, ternyata rela menggali parit
seorang diri di pinggir kota.
Sejak
itu, raja selalu mengirim rakyatnya ke kota Madinah untuk mempelajari agama
Islam.
MAKANAN
ENAK UNTUK KHALIFAH
Kisah
Umar bin Khattab bisa menjadi cermin bagi kita. Ketika Utbah bin Farqad,
Gubernur Azerbaijan, di masa pemerintahan Umar bin Khattab disuguhi makanan
oleh rakyatnya. Kebiasaan yang lazim kala itu. Dengan senang hati gubernur
menerimanya seraya bertanya “Apa nama makanan ini?”. “Namanya Habish, terbuat
dari minyak samin dan kurma”, jawab salah seorang dari mereka.
Sang
Gubernur segera mencicipi makanan itu. Sejenak kemudian bibirnya menyunggingkan
senyum. “Subhanallah” Betapa manis dan enak makanan ini. Tentu kalau makanan
ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab di Madinah dia akan
senang, ujar Utbah.
Kemudian
ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat makanan dengan kadar yang diupayakan
lebih enak. Setelah makanan tersedia, sang gubenur memerintahkan anak buahnya
untuk berangkat ke madinah dan membawa habish untuk Khaliofah Umar bin Khattab.
Sang khalifahsegera membuka dan mencicipinya. “Makanan Apan ini?” tanya Umar.
“Makanan
ini namanya Habish. Makanan paling lezat di Azerbaijan,” jawab salah seorang
utusan.
“Apakah
seluruh rakyat Azerbaijan bia menikmati makanan ini?’, tanya Umar lagi.
“Tidak.
tidak semua bisa menikmatinya”, jawab utusan itu gugup
Wajah
Khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memrintahkan kedua utusan
itu untuk membawa kembali habish ke negrinya. Kepada Gubernurnya ia menulis
surat “………makanan semanis dan seselezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan
ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau
mengenyangkan perutmu”
UMAR
r.a DIMATA PEMIMPIN NASRANI
Berita
kedatangan bala bantuan kepada pasukan Muslim yang tengah mengepung kota
membuat pasukan dan warga Kristen dan Yahudi yang berdiam di dalam kota menjadi
ciut. Mengingat kedudukan Yerusalem sebagai kota suci, sebenarnya pasukan
Muslim enggan menumpahkan darah di kota itu. Sementara kaum Kristen yang
mempertahankan kota itu juga sadar mereka tidak akan mampu menahan kekuatan
pasukan Muslim. Menyadari memperpanjang perlawanan hanya akan menambah
penderitaan yang sia-sia bagi penduduk Yerusalem, maka Patriarch Yerusalem,
Uskup Agung Sophronius mengajukan perjanjian damai. Permintaan itu disambut
baik Panglima Amru bin Ash, sehingga Yerusalem direbut dengan damai tanpa
pertumpahan darah setetespun.
Walaupun
demikian, Uskup Agung Sophronius menyatakan kota suci itu hanya akan diserahkan
ke tangan seorang tokoh yang terbaik di antara kaum Muslimin, yakni Khalifah
Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu. Sophronius menghendaki agar Amirul Mukminin
tersebut datang ke Yerusalem secara pribadi untuk menerima penyerahan kunci
kota suci tersebuit. Biasanya, hal ini akan segera ditolak oleh pasukan yang
menang. Namun tidak demikian yang dilakukan oleh pasukan Muslim. Bisa jadi,
warga Kristen masih trauma dengan dengan peristiwa direbutnya kota Yerusalem
oleh tentara Persia dua dasawarsa sebelumnya di mana pasukan Persia itu
melakukan perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dan juga penajisan tempat-tempat
suci. Walau orang-orang Kristen telah mendengar bahwa perilaku pasukan kaum
Muslimin ini sungguh-sungguh berbeda, namun kecemasan akan kejadian dua
dasawarsa dahulu masih membekas dengan kuat. Sebab itu mereka ingin jaminan
yang lebih kuat dari Amirul Mukminin.
Panglima
Abu Ubaidah memahami psikologis penduduk Yerusalem tersebut. Ia segera
meneruskan permintaan tersebut kepada Khalifah Umar r.a. yang berada di
Madinah. Khalifah Umar segera menggelar rapat Majelis Syuro untuk mendapatkan
nasehatnya. Utsman bin Affan menyatakan bahwa Khalifah tidak perlu memenuhi
permintaan itu karena pasukan Romawi Timur yang sudah kalah itu tentu akhirnya
juga akan menyerahkan diri. Namun Ali bin Abi Thalib berpandangan lain. Menurut
Ali, Yerusalem adalah kota yang sama sucinya bagi umat Islam, Kristen, dan
Yahudi, dan sehubungan dengan itu, maka akan sangat baik bila penyerahan kota
itu diterima sendiri oleh Amirul Mukminin. Kota suci itu adalah kiblat pertama
kaum Muslimin, tempat persinggahan perjalanan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Salam pada malam hari ketika beliau ber-isra’ dan dari kota itu pula Rasulullah
ber-mi’raj. Kota itu menyaksikan hadirnya para anbiya, seperti Nabi Daud, Nabi
Sulaiman, dan Nabi Isa. Umar akhirnya menerima pandangan Ali dan segera
berangkat ke Yerusalem. Sebelum berangkat, Umar menugaskan Ali untuk
menjalankan fungsi dan tugasnya di Madinah selama dirinya tidak ada.
Kepergian
Khalifah Umar hanya ditemani seorang pelayan dan seekor unta yang
ditungganginya bergantian. Ketika mendekati Desa Jabiah di mana panglima dan
para komandan pasukan Muslim telah menantikannya, kebetulan tiba giliran
pelayan untuk menunggang unta tersebut. Pelayan itu menolak dan memohon agar
khalifah mau menunggang hewan tersebut. Tapi Umar menolak dan mengatakan bahwa
saat itu adalah giliran Umar yang harus berjalan kaki. Begitu sampai di Jabiah,
masyarakat menyaksikan suatu pemandangan yang amat ganjilyang belum pernah
terjadi, ada pelayan duduk di atas unta sedangkan tuannya berjalan kaki
menuntun hewan tunggangannya itu dengan mengenakan pakaian dari bahan kasar
yang sangat sederhana. Lusuh dan berdebu, karena telah menempuh perjalanan yang
amat jauh.
Di
Jabiah, Abu Ubaidah menemui Khalifah Umar. Abu Ubaidah sangat bersahaya,
mengenakan pakaian dari bahan yang kasar. Khalifah Umar amat suka bertemu
dengannya. Namun ketika bertemu dengan Yazid bin Abu Sofyan, Khalid bin Walid,
dan para panglima lainnya yang berpakaian dari bahan yang halus dan bagus, Umar
tampak kurang senang karena kemewahan amat mudah menggelincirkan orang ke dalam
kecintaan pada dunia.
Kepada
Umar, Abu Ubaidah melaporkan kondisi Suriah yang telah dibebaskannya itu dari
tangan Romawi Timur. Setelah itu, Umar menerima seorang utusan kaum Kristen
dari Yerusalem. Di tempat itulah Perjanjian Aelia (istilah lain Yerusalem)
dirumuskan dan akhirnya setelah mencapai kata sepakat ditandatangani.
Berdasarkan perjanjian Aelia itulah Khalifah Umar r.a. menjamin keamanan nyawa
dan harta benda segenap penduduk Yerusalem, juga keselamatan gereja, dan
tempat-tempat suci lainnya. Penduduk Yerusalem juga diwajibkan membayar jizyah
bagi yang non-Muslim. Barang siapa yang tidak setuju, dipersilakan meninggalkan
kota dengan membawa harta-benda mereka dengan damai. Dalam perjanjian itu ada
butir yang merupakan pesanan khusus dari pemimpin Kristen yang berisi dilarangnya
kaum Yahudi berada di Yerusalem. Ketentuan khusus ini berangsur-angsur
dihapuskan begitu Yerusalem berubah dari kota Kristen jadi kota Muslim.
Perjanjian
Aeliasecara garis besar berbunyi: “Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba
Allah ‘Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: dia menjamin keamanan diri,
harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat,
dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik
membongkarnya, mengurangi, maupun menghilangkannya sama sekali, demikian pula
tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh
mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat
tinggal kepada orang Yahudi.”
Setelah
itu, Umar melanjutkan perjalanannya ke Yerusalem. Lagi-lagi ia berjalan seperti
layaknya seorang musafir biasa. Tidak ada pengawal. Ia menunggang seekor kuda
yang biasa, dan menolak menukarnya dengan tunggangan yang lebih pantas.
Di
pintu gerbang kota Yerusalem, Khalifah Umar disambut Patriarch Yerusalem, Uskup
Agung Sophronius, yang didampingi oleh pembesar gereja, pemuka kota, dan para
komandan pasukan Muslim. Para penyambut tamu agung itu berpakaian
berkilau-kilauan, sedang Umar hanya mengenakan pakaian dari bahan yang kasar
dan murah. Sebelumnya, seorang sahabat telah menyarankannya untuk mengganti
dengan pakaian yang pantas, namun Umar berkata bahwa dirinya mendapatkan
kekuatan dan statusnya berkat iman Islam, bukan dari pakaian yang dikenakannya.
Saat Sophronius melihat kesederhanaan Umar, dia menjadi malu dan mengatakan,
“Sesungguhnya Islam mengungguli agama-agama manapun.”
Di
depan The Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci Yesus), Uskup Sophronius
menyerahkan kunci kota Yerusalem kepada Khalifa Umar r.a. Setelah itu Umar
menyatakan ingin diantar ke suatu tempat untuk menunaikan shalat. Oleh
Sophronius, Umar diantar ke dalam gereja tersebut. Umar menolak kehormatan itu
sembari mengatakan bahwa dirinya takut hal itu akan menjadi preseden bagi kaum
Muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid. Umar
lalu dibawa ke tempat di mana Nabi Daud Alaihissalam konon dipercaya shalat dan
Umar pun shalat di sana dan diikuti oleh umat Muslim. Ketika orang-orang Romawi
Bizantium menyaksikan hal tersebut, mereka dengan kagum berkata, kaum yang
begitu taat kepada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan untuk berkuasa.
“Saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini, karena saya telah
menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik …,” ujar Sophronius.
Umar
tinggal beberapa hari di Yerusalem. Ia berkesempatan memberi petunjuk dalam
menyusun administrasi pemerintahan dan yang lainnya. Umar juga mendirikan
sebuah masjid pada suatu bukit di kota suci itu. Masjid ini sekarang disebut
sebagai Masjid Umar. Pada upacara pembangunan masjid itu, Bilal r.a. – bekas
budak berkulit hitam yang sangat dihormati Khalifah Umar melebihi dirinya –
diminta mengumandangkan adzan pertama di bakal tempat masjid yang akan
didirikan, sebagaimana adzan yang biasa dilakukannya ketika Rasulullah masih
hidup. Setelah Rasulullah saw wafat, Bilal memang tidak mau lagi
mengumandangkan adzan. Atas permintaan Umar, Bilal pun melantunkan adzan untuk
menandai dimulainya pembangunan Masjid Umar. Saat Bilal mengumandangkan adzan
dengan suara yang mendayu-dayu, Umar dan kaum Muslimin meneteskan air mata,
teringat saat-saat di mana Rasulullah masih bersama mereka. Ketika suara adzan
menyapu bukit dan lembah di Yerusalem, penduduk terpana dan menyadari bahwa
suatu era baru telah menyingsing di kota suci tersebut.
POSTED BY: MUHAMMAD ISMAIL
Subscribe to:
Posts (Atom)