Wednesday, July 23, 2014

Sang Pemimpin yang telah di Jamin Masuk Sorga

Sebagai seorang khalifah pengganti Abu bakar pada 13 – 23 H ( 634 – 644 M) kekuasaan islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).

Keberhasilan Umar bin Khattab dalam menaklukan imperium besar (Persia dan Romawi) tidak lepas dari sosoknya yang tegas, dan sangat bersahaja. Berikut kami kisahkan beberapa contoh teladan dari Umar bin khattab :


URMUZAN dan UMAR BIN KHATTAB

Dengan ditemani Anas Bin Malik, Hurmuzan datang dengan kebesaran dan kemegahannya. Dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota keluarganya, Hurmuzan memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan kemuliaan seorang raja. Perhiasan yang bertatah permata melekat di dahi. Sementara mantel sutra yang mewah menutupi pundaknya.Sementara itu sebilah pedang bengkok dengan hiasan batu-batu mulia menggantung disabuknya. Ia bertanya-tanya dimana Amirul Mu’minin bertempat tinggal. Ia membayangkan bahwa Umar bin Khattab yang kemasyhurannya tersebar keseluruh dunia pasti tinggal di Istana yang sangat megah.

Sampai di Madinah mereka langsung menuju tempat kediaman Umar. Tetapi mereka diberitahu bahwa Umar sudah pergi ke Masjid sedang menerima delegasi dari Kufah. Mereka pun bergegas ke Masjid. Tetapi tidak juga bertemu Umar. Melihat rombongan itu, anak-anak di Madinah mengerti maksud kedatangan mereka. Lalu diberitahukan bahwa Amirul Mu’minin sedang tidur di beranda kanan masjid dengan menggunakan mantelnya sebagai bantal seorang diri. Betapa terkejutnya Hurmuzan, ketika ditunjukan bahwa Umar adalah lelaki yang berpakaian seadanya yang tidur di Masjid itu. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tak percaya, tetapi memang itulah kenyataannya.

Sambil berdecak kagum Hurmuzan mengatakan, “Engkau, wahai Umar, telah memerintah dengan adil, lalu engkau aman dan engkau pun bisa tidur dengan nyaman”.

TUNJANGAN UNTUK UMAR BIN KHATTAB

Tatkala ‘Umar ibn al-Khaththâb r.a. diangkat menjadi Khalifah, ditetapkanlah baginya tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada Khalifah sebelumnya, yaitu Abû Bakar r.a. Pada suatu saat, harga-harga barang di pasar mulai merangkak naik. Tokoh-tokoh Muhajirin seperti ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, dan Zubair berkumpul serta menyepakati sesuatu. Di antara mereka ada yang berkata, “Alangkah baiknya jika kita mengusulkan kepada ‘Umar agar tunjangan hidup untuk beliau dinaikkan.Jika ‘Umar menerima usulan ini, kami akan menaikkan tunjangan hidup beliau.”‘

Alî kemudian berkata, “Alangkah bagusnya jika usulan seperti ini diberikan pada waktu-waktu yang telah lalu.”Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah ‘Umar. Namun, Utsmân menyela seraya berkata, “Sebaiknya usulan kita ini jangan langsung disampaikan kepada ‘Umar. Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu melalui puteri beliau, Hafshah. Sebab, saya khawatir, ‘Umar akan murka kepada kita.”Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada Hafshah seraya memintanya untuk bertanya kepada ‘Umar, yakni tentang bagaimana pendapatnya jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai penambahan tunjangan bagi Khalifah ‘Umar.“Apabila beliau menyetujuinya, barulah kami akan menemuinya untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami meminta kepadamu untuk tidak menyebutkan nama seorang pun di antara kami,” demikian kata mereka.Ketika Hafshah menanyakan hal itu kepada ‘Umar, beliau murka seraya berkata, “Siapa yang mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?”Hafshah menjawab, “Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan itu.

Umar kemudian berkata lagi, “Demi Allah, andaikata aku tahu siapa orang yang mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu.”Setelah itu, ‘Umar balik bertanya kepada Hafshah, istri Nabi saw., “Demi Allah, ketika Rasulullah saw. masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di rumahnya?”Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya mempunyai dua pakaian. Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai sehari-hari.”‘Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan yang dimiliki oleh Rasulullah?”Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan minyak samin.”‘Umar kembali bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di rumahnya?”Hafshah menjawab lagi, “Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal yang dipakai untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba, separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alastidur.”‘Umar kemudian melanjutkan perkataannya, “Hafshah, katakanlah kepada mereka, bahwa Rasulullah saw.

selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, aku punakan mengikuti jejak beliau. Perumpamaanku dengan sahabatku—yaitu Rasulullah dan Abû Bakar—adalah ibarat tiga orang yang sedang berjalan. Salah seorang di antara ketiganya telah sampai di tempat tujuan, sedangkanyang kedua menyusul di belakangnya. Setelah keduanya sampai, yang ketiga pun mengikuti perjalanan keduanya. Ia menggunakan bekal kedua kawannya yangterdahulu. Jika ia puas dengan bekal yang ditinggalkan kedua kawannya itu, ia akan sampai di tempat tujuannya, bergabung dengan kedua kawannya yang telah tiba lebih dahulu. Namun, jika ia menempuh jalan yang lain, ia tidak akan bertemu dengan kedua kawannya itu di akhirat.”(Sumber: Târîkh ath-Thabarî, jilid I, hlm. 164).

UMAR r.a DAN RAKYAT YANG KELAPARAN

Suatu malam, Sang Khalifah menemukan sebuah gubuk kecil yang dari dalamnya nyaring terdengar suara tangis anak-anak. Umar mendekat dan memerhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Ia dapat melihat ada seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya.

Ibu itu kelihatan sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya menangis, sang Ibu berkata, “Tunggulah! Sebentar lagi makanannya akan matang.”

Selagi Umar memerhatikan di luar, sang ibu terus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan sebentar lagi akan matang.

Umar menjadi penasaran. Setelah memberi salam dan meminta izin, dia memasuki gubuk itu dan bertanya kepada sang ibu, "Mengapa anak-anak Ibu tak berhenti menangis?”

“Itu karena mereka sangat lapar,” jawab si ibu.

“Mengapa tidak ibu berikan makanan yang sedang Ibu masak sedari tadi itu?”

“Tidak ada makanan. Periuk yang sedari tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan anak-anak. Biarlah mereka berpikir bahwa periuk itu berisi makanan. Mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur.”

“Apakah Ibu sering berbuat begini?” tanya Umar ingin tahu.

“Ya. Saya sudah tidak memiliki keluarga ataupun suami tempat saya bergantung. Saya sebatang kara,” jawab si ibu datar, berusaha menyembunyikan kepedihan hidupnya.

“Mengapa Ibu tidak meminta pertolongan kepada Khalifah? Sehingga beliau dapat menolong Ibu beserta anak-anak Ibu dengan memberikan uang dari Baitul Mal? Itu akan sangat membantu kehidupan ibu dan anak-anak,” nasihat Umar.

“Khalifah telah berbuat zalim kepada saya,” jawab si ibu.

“Bagaimana Khalifah bisa berbuat zalim kepada ibu?” sang Khalifah ingin tahu.

“Saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya dalam kehidupan nyata. Siapa tahu, ada banyak orang yang senasib dengan saya.”

Umar berdiri dan berkata, “Tunggu sebentar, Bu. Saya akan segera kembali!”

Pada malam yang telah larut itu, Umar segera bergegas ke Madinah, menuju Baitul Mal. Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya. Abbas, sahabatnya membantu membawa minyak samin untuk memasak.

Maka, ketika Khalifah menyerahkan sekarung gandum yang besar kepada si ibu beserta anak-anaknya yang miskin, bukan main gembiranya mereka menerima bahan makanan dari lelaki yang tidak dikenal ini.

Umar berpesan agar ibu itu datang menemui Khalifah keesokan harinya untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal.
Setelah keesokan harinya, ibu dan anak-anaknya pergi untuk menemui Khalifah. Dan betapa sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa lelaki yang telah menolongnya tadi malam adalah Khalifahnya sendiri, Khalifah Umar bin Khattab.
Segera saja si ibu minta maaf atas kekeliruannya yang telah menilai bahwa khalifahnya zalim terhadapnya. Namun Sang Khalifah tetap mengaku bahwa dirinyalah yang telah bersalah.

MENGGALI PARIT SEORANG DIRI

Umar bin Khattab tidak saja di kenal sebagai khalifah yang berwibawa, tapi juga sederhana dan merakyat. Untuk mengetahui keadaan rakyatnya, Umar tak segan-segan menyamar jadi rakyat biasa.

Ia sering berjalan-jalan ke pelosok desa seorang diri. Pada saat seperti itu tak seorang pun mengenalinya bahwa ia sesungguhnya kepala pemerintahan. Kalau ia menjumpai rakyatnya sedang kesusahan, ia pun segera memberi bantuan.

Umar sadar, apa yang ada di tangannya saat itu bukanlah miliknya melainkan milik rakyat. Untuk itu Umar melarang keras anggota keluarganya berfoya-foya. Ia selalu berhemat dalam menggunakan keperluannya sehari-hari. Karena hematnya, untuk menggunakan lampu saja keluarga amirulmukminin ini amat berhati-hati. Lampu minyak itu baru dinyalakan bila ada pembicaraan penting. Jika tidak, lebih baik tidak pakai lampu.

“Anak-anakku, lebih baik kita bicara dalam gelap. Sebab, minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu ini milik rakyat!” sahut khalifah ketika anaknya ingin bicara di tengah malam.

Dalam hidupnya, Umar senantiasa memegang teguh amanat yang diembankan rakyat di pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar dimana-mana. Seluruh rakyat sangat menghormatinya. Rupanya, cerita tentang keagungan Khalifah Umar ini terdengar pula oleh seorang raja negara tetangga. Raja tertarik dan ingin sekali bertemu dengan Umar.

Maka pada suatu hari dipersiapkanlah tentara kerajaan untuk mengawalnya berkunjung ke pemerintahan Umar. Ketika raja itu sampai di gerbang kota Madinah, dilihatnya seorang lelaki sedang sibuk menggali parit dan membersihkan got di pinggir jalan. Lalu, di panggilnya laki-laki itu.

“Wahai saudaraku!” seru raja sambil duduk di atas pelana kuda kebesarannya.

“Bisakah kau menunjukkan di mana letak istana dan singgasana Umar?” tanyanya kemudian. Lelaki itu segera menghentikan pekerjaannya. Lalu, ia memberi hormat.

“Wahai Tuan, Umar manakah yang Tuan maksudkan?” si penggali parit balik bertanya.” Umar bin Khattab kepala pemerintahan kerajaan Islam yang terkenal bijaksana dan gagah berani,” kata raja. Lelaki penggali parit itu tersenyum. “Tuan salah terka. Umar bin Khattab kepala pemerintahan Islam sebenarnya tidak punya istana dan singgasana seperti yang tuan duga. Ia orang biasa seperti saya,” terang si penggali parit,”.

“Ah benarkah? Mana mungkin kepala pemerintahan Islam yang terkenal agung seantero negeri itu tak punya istana?” raja itu mengerutkan dahinya.

“Tuan tidak percaya? Baiklah, ikuti saya,” sahut penggali parit itu.

Lalu diajaknya rombongan raja itu menuju “istana” Umar. Setelah berjalan menelusuri lorong-lorong kampung, pasar, dan kota, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana. Diajaknya tamu kerajaan itu masuk dan dipersilakannya duduk. Penggali parit itu pergi ke belakang dan ganti pakaian. Setelah itu ditemuinya tamu kerajaan itu. “Sekarang antarkanlah kami ke kerajaan Umar!”kata raja itu tak sabar.

Penggali parit tersenyum. “Tuan raja, tadi sudah saya katakan bahwa Umar bin Khattab tidak mempunyai kerajaan. Bila tuan masih juga bertanya di mana letak kerajaan Umar itu, maka saat ini juga tuan-tuan sedang berada di dalam istana Umar!”

Hah?!” Raja dan para pengawalnya terbelalak. Tentu saja mereka terkejut. Sebab, rumah yang di masukinya itu tidak menggambarkan sedikitpun sebagai pusat kerajaan. Meski rumah itu tampak bersih dan tersusun rapi, namun sangat sederhana.

Rupanya raja tak mau percaya begitu saja. Ia pun mengeluarkan pedangnya. Lalu berdiri sambil mengacungkan pedangnya.

“Jangan coba-coba menipuku! Pedang ini bisa memotong lehermu dalam sekejap!” ancamnya melotot.

Penggali parit itu tetap tersenyum. Lalu dengan tenangnya, ia pun berdiri.” Di sini tidak ada rakyat yang berani berbohong. Bila ada, maka belum bicara pun pedang telah menebas lehernya. Letakkanlah pedang Tuan. Tak pantas kita bertengkar di istana Umar,” kata penggali parit. Dengan tenang ia memegang pedang raja dan memasukkannya kembali pada sarungnya.

Raja terkesima melihat keberanian dan ketenangan si penggali parit. Antara percaya dan tidak, dipandanginya wajah penggali parit itu. Lantas, ia menebarkan kembali pandangannya menyaksikan “istana” Umar itu. Muncullah pelayan-pelayan dan pengawal-pengawal untuk menjamu mereka dengan upacara kebesaran. Namun, raja itu belum juga percaya.

“Benarkah ini istana Umar?”tanyanya pada pelayan-pelayan.

“Betul, Tuanku, inilah istana Umar bin Khattab,” jawab salah seorang pelayan.

“Baiklah,” katanya. Raja memang harus mempercayai ucapan pelayan itu.

“Tapi, dimanakah Umar? Tunjukkan padaku, aku ingin sekali bertemu dengannya dan bersalaman dengannya!” ujar sang raja.

Dengan sopan pelayan itu pun menunjuk ke arah lelaki penggali parit yang duduk di hadapan raja.” Yang duduk di hadapan Tuan adalah Khalifah Umar bin Khattab” sahut pelayan itu.

“Hah?!” Raja kini benar-benar tercengang. Begitu pula para pengawalnya.

“Jad…jadi, anda Khalifah Umar itu…?” tanya raja dengan tergagap.

Si penggali parit mengangguk sambil tersenyum ramah.

“Sejak kita pertemu pertama kali di pintu gerbang kota Madinah, sebenarnya Tuan sudah berhadapan dengan Umar bin Khattab!” ujarnya dengan tenang.

Kemudian raja itu pun langsung menubruk Umar dan memeluknya erat sekali. Ia sangat terharu bahkan menangis melihat kesederhanaan Umar. Ia tak menyangka, Khalifah yang namanya disegani di seluruh negeri itu, ternyata rela menggali parit seorang diri di pinggir kota.

Sejak itu, raja selalu mengirim rakyatnya ke kota Madinah untuk mempelajari agama Islam.

MAKANAN ENAK UNTUK KHALIFAH

Kisah Umar bin Khattab bisa menjadi cermin bagi kita. Ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan, di masa pemerintahan Umar bin Khattab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Kebiasaan yang lazim kala itu. Dengan senang hati gubernur menerimanya seraya bertanya “Apa nama makanan ini?”. “Namanya Habish, terbuat dari minyak samin dan kurma”, jawab salah seorang dari mereka.

Sang Gubernur segera mencicipi makanan itu. Sejenak kemudian bibirnya menyunggingkan senyum. “Subhanallah” Betapa manis dan enak makanan ini. Tentu kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab di Madinah dia akan senang, ujar Utbah.

Kemudian ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat makanan dengan kadar yang diupayakan lebih enak. Setelah makanan tersedia, sang gubenur memerintahkan anak buahnya untuk berangkat ke madinah dan membawa habish untuk Khaliofah Umar bin Khattab. Sang khalifahsegera membuka dan mencicipinya. “Makanan Apan ini?” tanya Umar.

“Makanan ini namanya Habish. Makanan paling lezat di Azerbaijan,” jawab salah seorang utusan.

“Apakah seluruh rakyat Azerbaijan bia menikmati makanan ini?’, tanya Umar lagi.

“Tidak. tidak semua bisa menikmatinya”, jawab utusan itu gugup

Wajah Khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memrintahkan kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negrinya. Kepada Gubernurnya ia menulis surat “………makanan semanis dan seselezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu”

UMAR r.a DIMATA PEMIMPIN NASRANI

Berita kedatangan bala bantuan kepada pasukan Muslim yang tengah mengepung kota membuat pasukan dan warga Kristen dan Yahudi yang berdiam di dalam kota menjadi ciut. Mengingat kedudukan Yerusalem sebagai kota suci, sebenarnya pasukan Muslim enggan menumpahkan darah di kota itu. Sementara kaum Kristen yang mempertahankan kota itu juga sadar mereka tidak akan mampu menahan kekuatan pasukan Muslim. Menyadari memperpanjang perlawanan hanya akan menambah penderitaan yang sia-sia bagi penduduk Yerusalem, maka Patriarch Yerusalem, Uskup Agung Sophronius mengajukan perjanjian damai. Permintaan itu disambut baik Panglima Amru bin Ash, sehingga Yerusalem direbut dengan damai tanpa pertumpahan darah setetespun.

Walaupun demikian, Uskup Agung Sophronius menyatakan kota suci itu hanya akan diserahkan ke tangan seorang tokoh yang terbaik di antara kaum Muslimin, yakni Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu. Sophronius menghendaki agar Amirul Mukminin tersebut datang ke Yerusalem secara pribadi untuk menerima penyerahan kunci kota suci tersebuit. Biasanya, hal ini akan segera ditolak oleh pasukan yang menang. Namun tidak demikian yang dilakukan oleh pasukan Muslim. Bisa jadi, warga Kristen masih trauma dengan dengan peristiwa direbutnya kota Yerusalem oleh tentara Persia dua dasawarsa sebelumnya di mana pasukan Persia itu melakukan perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dan juga penajisan tempat-tempat suci. Walau orang-orang Kristen telah mendengar bahwa perilaku pasukan kaum Muslimin ini sungguh-sungguh berbeda, namun kecemasan akan kejadian dua dasawarsa dahulu masih membekas dengan kuat. Sebab itu mereka ingin jaminan yang lebih kuat dari Amirul Mukminin.

Panglima Abu Ubaidah memahami psikologis penduduk Yerusalem tersebut. Ia segera meneruskan permintaan tersebut kepada Khalifah Umar r.a. yang berada di Madinah. Khalifah Umar segera menggelar rapat Majelis Syuro untuk mendapatkan nasehatnya. Utsman bin Affan menyatakan bahwa Khalifah tidak perlu memenuhi permintaan itu karena pasukan Romawi Timur yang sudah kalah itu tentu akhirnya juga akan menyerahkan diri. Namun Ali bin Abi Thalib berpandangan lain. Menurut Ali, Yerusalem adalah kota yang sama sucinya bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, dan sehubungan dengan itu, maka akan sangat baik bila penyerahan kota itu diterima sendiri oleh Amirul Mukminin. Kota suci itu adalah kiblat pertama kaum Muslimin, tempat persinggahan perjalanan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam pada malam hari ketika beliau ber-isra’ dan dari kota itu pula Rasulullah ber-mi’raj. Kota itu menyaksikan hadirnya para anbiya, seperti Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa. Umar akhirnya menerima pandangan Ali dan segera berangkat ke Yerusalem. Sebelum berangkat, Umar menugaskan Ali untuk menjalankan fungsi dan tugasnya di Madinah selama dirinya tidak ada.

Kepergian Khalifah Umar hanya ditemani seorang pelayan dan seekor unta yang ditungganginya bergantian. Ketika mendekati Desa Jabiah di mana panglima dan para komandan pasukan Muslim telah menantikannya, kebetulan tiba giliran pelayan untuk menunggang unta tersebut. Pelayan itu menolak dan memohon agar khalifah mau menunggang hewan tersebut. Tapi Umar menolak dan mengatakan bahwa saat itu adalah giliran Umar yang harus berjalan kaki. Begitu sampai di Jabiah, masyarakat menyaksikan suatu pemandangan yang amat ganjilyang belum pernah terjadi, ada pelayan duduk di atas unta sedangkan tuannya berjalan kaki menuntun hewan tunggangannya itu dengan mengenakan pakaian dari bahan kasar yang sangat sederhana. Lusuh dan berdebu, karena telah menempuh perjalanan yang amat jauh.

Di Jabiah, Abu Ubaidah menemui Khalifah Umar. Abu Ubaidah sangat bersahaya, mengenakan pakaian dari bahan yang kasar. Khalifah Umar amat suka bertemu dengannya. Namun ketika bertemu dengan Yazid bin Abu Sofyan, Khalid bin Walid, dan para panglima lainnya yang berpakaian dari bahan yang halus dan bagus, Umar tampak kurang senang karena kemewahan amat mudah menggelincirkan orang ke dalam kecintaan pada dunia.

Kepada Umar, Abu Ubaidah melaporkan kondisi Suriah yang telah dibebaskannya itu dari tangan Romawi Timur. Setelah itu, Umar menerima seorang utusan kaum Kristen dari Yerusalem. Di tempat itulah Perjanjian Aelia (istilah lain Yerusalem) dirumuskan dan akhirnya setelah mencapai kata sepakat ditandatangani. Berdasarkan perjanjian Aelia itulah Khalifah Umar r.a. menjamin keamanan nyawa dan harta benda segenap penduduk Yerusalem, juga keselamatan gereja, dan tempat-tempat suci lainnya. Penduduk Yerusalem juga diwajibkan membayar jizyah bagi yang non-Muslim. Barang siapa yang tidak setuju, dipersilakan meninggalkan kota dengan membawa harta-benda mereka dengan damai. Dalam perjanjian itu ada butir yang merupakan pesanan khusus dari pemimpin Kristen yang berisi dilarangnya kaum Yahudi berada di Yerusalem. Ketentuan khusus ini berangsur-angsur dihapuskan begitu Yerusalem berubah dari kota Kristen jadi kota Muslim.

Perjanjian Aeliasecara garis besar berbunyi: “Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah ‘Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membongkarnya, mengurangi, maupun menghilangkannya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi.”

Setelah itu, Umar melanjutkan perjalanannya ke Yerusalem. Lagi-lagi ia berjalan seperti layaknya seorang musafir biasa. Tidak ada pengawal. Ia menunggang seekor kuda yang biasa, dan menolak menukarnya dengan tunggangan yang lebih pantas.

Di pintu gerbang kota Yerusalem, Khalifah Umar disambut Patriarch Yerusalem, Uskup Agung Sophronius, yang didampingi oleh pembesar gereja, pemuka kota, dan para komandan pasukan Muslim. Para penyambut tamu agung itu berpakaian berkilau-kilauan, sedang Umar hanya mengenakan pakaian dari bahan yang kasar dan murah. Sebelumnya, seorang sahabat telah menyarankannya untuk mengganti dengan pakaian yang pantas, namun Umar berkata bahwa dirinya mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat iman Islam, bukan dari pakaian yang dikenakannya. Saat Sophronius melihat kesederhanaan Umar, dia menjadi malu dan mengatakan, “Sesungguhnya Islam mengungguli agama-agama manapun.”

Di depan The Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci Yesus), Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota Yerusalem kepada Khalifa Umar r.a. Setelah itu Umar menyatakan ingin diantar ke suatu tempat untuk menunaikan shalat. Oleh Sophronius, Umar diantar ke dalam gereja tersebut. Umar menolak kehormatan itu sembari mengatakan bahwa dirinya takut hal itu akan menjadi preseden bagi kaum Muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid. Umar lalu dibawa ke tempat di mana Nabi Daud Alaihissalam konon dipercaya shalat dan Umar pun shalat di sana dan diikuti oleh umat Muslim. Ketika orang-orang Romawi Bizantium menyaksikan hal tersebut, mereka dengan kagum berkata, kaum yang begitu taat kepada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan untuk berkuasa. “Saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini, karena saya telah menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik …,” ujar Sophronius.

Umar tinggal beberapa hari di Yerusalem. Ia berkesempatan memberi petunjuk dalam menyusun administrasi pemerintahan dan yang lainnya. Umar juga mendirikan sebuah masjid pada suatu bukit di kota suci itu. Masjid ini sekarang disebut sebagai Masjid Umar. Pada upacara pembangunan masjid itu, Bilal r.a. – bekas budak berkulit hitam yang sangat dihormati Khalifah Umar melebihi dirinya – diminta mengumandangkan adzan pertama di bakal tempat masjid yang akan didirikan, sebagaimana adzan yang biasa dilakukannya ketika Rasulullah masih hidup. Setelah Rasulullah saw wafat, Bilal memang tidak mau lagi mengumandangkan adzan. Atas permintaan Umar, Bilal pun melantunkan adzan untuk menandai dimulainya pembangunan Masjid Umar. Saat Bilal mengumandangkan adzan dengan suara yang mendayu-dayu, Umar dan kaum Muslimin meneteskan air mata, teringat saat-saat di mana Rasulullah masih bersama mereka. Ketika suara adzan menyapu bukit dan lembah di Yerusalem, penduduk terpana dan menyadari bahwa suatu era baru telah menyingsing di kota suci tersebut.



POSTED BY: MUHAMMAD ISMAIL

Friday, July 11, 2014

Kata-kata Bijak Yang Ngawur !

Underground Tauhid 

Kemampuan yang paling hebat, dan juga paling mengerikan dari para filsuf, sastrawan, dan penulis amatiran (seperti saya), adalah merangkai kata-kata.. Kemampuan persuasi, yang bisa membuat hal-hal yang sebenarnya koplak, terlihat bijak.. Suatu hal-hal yang jelas salah pun, akan bisa terlihat luar biasa benar, luar biasa masuk akal lengkap dengan argumen yang indah dan berbunga-bunga, yang kedengarannya muncul dari seorang bijak berjanggut yang sedang bersemedi di bawah pohon, lengkap dengan kicauan burung di latar belakang..

Kata-kata bijak berikut ini, saat pertama anda membacanya, anda mungkin akan manggut-manggut setuju, hati anda tersentuh, bahkan mata anda akan berkaca-kaca sambil menghela napas panjang sambil membatin: ‘iya juga yaa..’ Benarkah itu bijak? Yuk kita kritisi..
“Kita tidak perlu menghakimi keburukan orang lain.. Biarlah itu urusan dia dengan Tuhannya.. Hanya Tuhan yang tahu mana yang paling benar. Hanya Tuhan lah yang berhak menghakimi, di akhirat kelak..”

Wow, wow, wow, tunggu dulu.. Jika saja hanya Tuhan yang berhak menghakimi, mari kita bubarkan semua lembaga peradilan, karena manusia tidak berhak menghakimi bukan? Mau orang korupsi, mencuri, menjadi gay dan lesbian, menghina agama, bahkan membunuh orang lain, biarkan saja.. Toh kita tidak berhak menghakimi orang lain kan? Hanya Tuhan yang berhak.  Jadi jika ada polisi yang coba mendenda kita karena buang sampah atau merokok sembarangan di Singapura, tampar saja si sok tahu itu, dan katakan: “hanya Tuhan yang berhak menghakimi saya!!” Jika kita hanya membiarkan Tuhan yang mengadili semua keburukan-keburukan manusia di dunia, kita tidak perlu hukum lagi, dan mari kita kembali ke zaman batu (bahkan manusia zaman batu pun punya peraturan). Atau kita ikuti saja kata-kata teman saya: “Lemah teles, Gusti Alloh seng mbales..”
“Kenapa kita ribut-ribut masalah yang sepele sih? Pornografi diributin, penulis buku yang mempromosikan lesbi dihalangin.. Lady Gaga diributin.. Mendingan urusin tuh koruptor, mereka yang lebih berbahaya bagi bangsa kita ini..”

Weks.. Ini sih sama saja dengan: “Ngapain kita tangkap orang yang nyolong sandal, tuh yang maling motor aja dikejar..”. Lha perbuatan buruk, besar atau kecil, tetap harus dihalangi.. Jika orang tersebut menentang pornografi, bukan berarti dia diam saja terhadap koruptor kan? Bukankah lebih baik kita menjaga dari keduanya.. Katakan: say no to pornografi dan korupsi! Dua-duanya, menurut saya, cepat atau lambat, akan menghancurkan negara ini.. bahkan masyarakat barat sendiri pun cukup resah dengan pornografi, koq malah kita mendukungnya?
“Tuhan itu maha kuasa, maha agung, maha besar. Jadi ga perlu dibela. Jika kalian membentuk gerakan untuk membela agama, itu sama saja dengan kalian melecehkan kekuasaan dan kekuatan Tuhan. Tuhan ga perlu dibela..”

Weleh, tunggu sebentar.. Organisasi-organisasi agama yang dibentuk selama ini, dari agama manapun, didirikan untuk membela Tuhan, atau untuk kepentingan para pemeluk agama? Organisasi tersebut dibentuk untuk mengurusi, menyuarakan, dan mengakomodasi kepentingan para penganutnya.. Jika organisasi tersebut bertujuan melindungi kepentingan para anggotanya, kenapa dituduh sedang berusaha membela Tuhan? Saya koq tidak ingat ada organisasi agama yang visi dan misi organisasinya adalah: “untuk membela Tuhan di muka bumi..”
“Kenapa sih anti banget dengan seks bebas? Anti banget dengan rok mini? Padahal diam-diam toh suka nonton film porno, doyan seks juga, suka melototin paha juga.. Dasar otaknya aja yang kotor.. Bersihin tuh otaknya, jangan urusin pakaian orang lain.. Kalau otaknya bersih dan imannya kuat, mau ada yang telanjang di depannya juga ga akan tergoda.. Gak usah munafik dan sok suci deh..”

Lhaaa… Sebentar… Kelompok yang anti seks bebas bukan berarti mereka ga doyan seks ya.. Yang menjadi penentu adalah bagaimana cara kami menyalurkan hasrat kami.. Kami tentu saja suka seks, menikmati seks, tapi dengan pasangan kami, dengan cara yang bertanggung jawab.. Seks merupakan rahmat Tuhan, tapi nikmatilah secara bertanggung jawab.. Jika kami memang maniak seks yang suka meniduri semua makhluk yang berkaki dua, tentu saja kami dengan senang hati mendukung seks bebas.. Itu berarti kami makin bebas meniduri berbagai macam wanita tanpa harus pusing mikirin pampers dan susu, karena, dengan menyebarnya paham seks bebas, makin banyak wanita yang bersedia kami manfaatkan (dan kami tiduri), kemudian kami tinggalkan setelah puas..
Otak kami yang kotor? Ayolah, jika saja para lelaki diciptakan tanpa nafsu, maka sudah lama manusia punah.. Sudah kodratnya laki-laki akan tergerak nafsunya jika melihat paha wanita.. Jika ada lelaki yang dengan gagah berani bilang tidak tergerak nafsunya saat melihat paha wanita cantik, itu hanya omong kosong agar semakin banyak wanita yang memamerkan pahanya dengan senang hati.. Rok mini, memang diciptakan untuk memancing perhatian (dan nafsu) para lelaki.. Jika kami memang berfikiran kotor dan tak bisa menahan iman, tentu kami akan turun ke jalan untuk mendukung semua wanita memakai rok mini.. Makin banyak wanita yang bisa memuaskan nafsu kotor kami.. Jadi, siapakah yang berfikiran kotor dan tidak bisa menahan iman? Para lelaki yang menentang rok mini, atau pendukungnya? Para penentang seks bebas, atau pendukungnya?
Propaganda, seringkali seperti pelacur, menggunakan riasan tebal dan indah untuk menutupi kebusukan di baliknya..

Saya pernah tinggal di kos-kosan di Yogya, yang anak-anaknya terdiri dari berbagai macam aliran: agnostik, atheis, kejawen, liberal, penyembah keris, bahkan ada begitu bingung, sehingga akhirnya mengaku sebagai komunis relijius…
Dengan beragamnya fikiran yang pernah kami perdebatkan, diiringi menyeruput kopi dan menghisap rokok, fikiran saya dijejali dengan berbagai macam aliran lengkap dengan argumen yang luar biasa indah.. Mungkin itu yang membuat saya jadi terlatih mengasah logika, sambil garuk-garuk kepala, dan selalu mencoba melihat jauh ke balik kata-kata nan indah itu.. Nih, kata-kata bijak yang lagi trend saat ini:
“Lady Gaga koq diributin.. Apa bedanya dengan yang sudah ada di Indonesia? Penyanyi Indonesia juga banyak tuh yang seronok. Tuh penyanyi dangdut seronok masuk sampai ke kampung-kampung, ditonton anak-anak. Jika mau adil, yang seperti itu juga dilarang dong..”

Lha para pendukung kebebasan itu memangnya selama ini mendukung pelarangan pornografi sampai ke kampung-kampung? Dulu saat Inul banyak yang menentang, kaum liberalis juga menggunakan dalil yang sama: ‘yang lain juga dilarang doong’. Protes soal chef Sarah Quin (betul ga ya namanya?), juga ditentang dengan alasan: ‘dia ga sengaja tampil seronok koq’. Jika tempat-tempat maksiat digerebek, katanya menghalangi orang cari nafkah. Jika penyanyi dangdut seronok itu diprotes masyarakat sekitar, dijawab: urus dosa masing-masing, kalau ga suka ya ga usah nonton.. Bahkan di saat semua itu berusaha dikurangi dengan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, banyak yang menjerit-jerit: “jangan memasung kebebasan berekspresi!” Intinya kan sebenarnya: “Jangan larang kami melakukan pornografi dan pornoaksi, di tingkat manapun! Mau kami menari bugil sambil mutar-mutarin baju di atas kepala di genteng rumah kami, yo jangan protes!” Jadi, kenapa membanding-bandingkan Lady Gaga ama Keyboard Mak Lampir? (julukan para pedangdut seronok di daerah kami..). Toh dua-duanya sebenarnya kalian dukung, atas nama kebebasan berekspresi? Kami, malah sedang berusaha menentang dua-duanya..
“Kita hidup dlm masyarakat yg sangat plural, sehingga setiap individu hendaknya bebas memilih & menjalankan apapun prinsip hidupnya (termasuk mendukung Irshad Manji atau Lady Gaga), lalu semuanya saling menghormati dlm segala perbedaan pilihan tsb”

Hmm.. Bijak dalam teori, kacau balau dalam praktek. Jika saja semua individu bebas menjalankan prinsip hidupnya, maka kita ga perlu nunggu suku Maya meramalkan akhir dunia. Bisa dibayangkan, jika banyak orang yang mendukung Sumanto, lalu menjalankan prinsip hidupnya sebagai kanibal, maka ayam goreng Kentucky ga bakal laris lagi, dan banyak orang yang nenteng-nenteng pisau daging dan botol merica di jalanan.. Atau, jika banyak orang yang mendukung Amrozi, kemudian menjalankan prinsip hidupnya sebagai pelaku bom bunuh diri, maka terminal bus way yang paling sesak pun akan bubar dalam 5 detik (termasuk penjaga tiketnya) begitu ada lelaki menyandang ransel datang mendekat..
Ya, ya saya tahu.. Argumen saya di atas pasti akan berusaha dimentahkan dengan argumen: “yang penting kan ga merugikan kalian” dalam bentuk kata-kata bijak nan koplak berikut:
“Apa salahnya dengan pornografi? Atau lesbi? Atau perbuatan-perbuatan maksiat lainnya? Toh ga merugikan anda. Jika anda tidak suka, ya ga usah ditonton, ga usah diikuti.  Jika takut anak anda terpengaruh, ya perkuat pendidikan iman anak-anak anda. Kalau iman sudah kuat, mau 1000 Lady Gaga datang ke Indonesia, iman kita (dan anak-anak kita) tidak akan terpengaruh..”

Hellooo.. Kita memang makhluk individu, tapi kita juga makhluk sosial. Setiap tindakan kita, sekecil apapun, akan berpengaruh terhadap lingkungan kita. Contoh gampangnya, kenapa kita protes sama tetangga kita yang buang sampah ke kali? “Toh sampahnya sampah dia sendiri (ya mana mungkin dia dengan ikhlas buangin sampahnya ente), kalinya bukan milik mbahmu, lantas kenapa ente yang sewot?” Lha memangnya kalo banjir, banjirnya muter-muter dulu cari siapa bajingan yang membuang sampah, lalu terus menyerbu menggenangi rumah tetangga anda saja sampai setinggi kepala?
Ok kita tidak suka perbuatan-perbuatan maksiat, dan kita berhasil menghindarinya. Lalu kita juga menanamkan iman yang kuat ke anak-anak kita, dan juga berhasil. Dan kita teriak ke luar sana: “Maree seneee Lady Gaga, Freddy Mercury, Jhon Kei dan Mak Lampir jadi satu!! Iman saya dan keluarga saya dah kuat koq!” Tapi sekian tahun ke depan, tiba-tiba ada anak tetangga kita yang kecanduan pornografi, lalu tidak tahan, dan akhirnya memperkosa anak perempuan kita.. Atau ada orang yang mabuk karena alkohol dan narkoba, lalu menabrak seluruh keluarga kita yang sedang jalan-jalan di trotoar.. Atau anak perempuan kita hilang, diculik sindikat yang menjualnya ke prostitusi.. Atau anak lelaki anda disodomi keluarga jauh anda.. Atau seorang pecandu merampok dan membunuh anda karena butuh uang untuk beli sabu.. Sama seperti banjir, ekses negatif dari perbuatan maksiat, tidak akan pernah pilih-pilih siapa korbannya, baik anda berbuat maksiat atau tidak..
Benar, bahwa kita tidak salah 100%, tapi, sebenarnya, kita tetap punya andil dalam hal itu. Kita sukses memperkuat iman keluarga kita, tapi kita abai dengan lingkungan kita. Itulah kenapa dalam Islam ada seruan: “amar makruf, nahi munkar”. Menyeru kepada kebajikan, mencegah kemungkaran. Jika kita mengabaikan kemunkaran di lingkungan kita, dengan prinsip: “urus dosa masing-masing”, yakinlah, cepat atau lambat, kita akan memetik hasilnya…
Masih enggan untuk amar makruf nahi munkar?
“Beri saya 10 media massa, maka saya akan merubah dunia..”

Saat ini, sungguh naif jika kita percaya media mainstream akan memberikan opini yang netral dan berimbang terhadap semua hal. Mereka akan memberikan opini yang sesuai dengan kepentingan sang pemilik (gimana kalo pemiliknya adalah Ryan Jagal?). Sungguh sangat berbahaya jika kita menganggap semua yang diberitakan media adalah berita yang 100% benar, tanpa berusaha mengkritisi dan mencari berita dari sudut pandang lain sebagai penyeimbang. Yuk, kita kritisi kata-kata bijak penutup ini..

“Menonton atau membaca pornografi, kekerasan, atau apapun tidak akan mempengaruhi saya. Toh semua manusia dibekali filter untuk menyaring, dan otak untuk berfikir. Jadi mau saya baca atau tonton ribuan kali pun , tidak akan merubah pendirian saya.. Satu kali nonton konser lady Gaga tidak akan membuat yg nonton jd pemuja setan dan lesbian kan?”

Hohohoho.. Yuk kita bandingkan keadaan sekarang dan keadaan 20 tahun yang lalu, tahun 80-90an. Zaman dulu, seks bebas di Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya. Untuk kaum remaja saat itu, bergandengan tangan di depan umum saja, sudah menimbulkan ledekan yang membuat sang pelaku ingin menceburkan diri ke selokan terdekat. Lihat anak-anak sekarang? Mungkin anda sendiri yang dengan sukarela akan menceburkan diri ke selokan terdekat saat melihat gaya mereka berpacaran. Bahkan sekarang mereka dengan senang hati menyebarkan prilaku mereka dalam bentuk video yang jumlahnya mulai menyaingi produksi film porno Amerika dalam setahun.. Kenapa bisa bergeser? Apa anda kira para orang tua dan guru lah yang menanamkan dogma: “Anakku, kamu harus rajin-rajin seks bebas yaa, biar dapat rangking.. Yuk kita memasyarakatkan seks bebas dan menseks bebaskan masyarakat..”?
Jadi, siapa yang mengajari mereka? Jawabannya sederhana: media massa. Selama berpuluh-puluh tahun mereka menggempur otak bawah sadar kita dengan berbagai film, buku, berita, cerita, sinetron, dan lain-lain yang secara sangat halus menyiratkan: “Seks bebas itu hal yang biasa aja cooy.. Anak gaul, malu dong jika masih perawan di usia 18. Tuh, banyak artis idola kamu yang melakukannya.” Memang benar 1000 kali membaca, atau 1x nonton Lady Gaga belum tentu merubah kita.. Tapi, pesan-pesan itu ditanamkan selama berpuluh-puluh tahun, dalam bentuk jutaan pesan per tahun, dari berbagai arah, terhadap anda dan keluarga anda. Yakin anda dan keluarga anda tidak terpengaruh sedikitpun?
Siapa yang paling mudah bobol? Tentu saja anak anda. Anda kira, kenapa iklan McDonald dan rokok mengarah kepada anak-anak dan remaja? Karena merekalah berada dalam fase yang labil dan paling mudah dipengaruhi, dibandingkan orang tuanya. Saat mereka menjadi dewasa dan lebih bijaksana, rokok, junkfood dan seks bebas itu sudah menjadi kebiasaan mereka, candu mereka, sehingga mereka akan sangat sulit meninggalkannya, walau akhirnya paham kerusakan macam apa yang ada dibaliknya.
“Tetap ngga ngaruh maaas, iman gue kan KW1″ Mungkin. Tapi, sedikit banyak, anda akan terpengaruh. Anda akan menjadi permisif: “Biar ajalah orang lain melakukannya, yang penting aku tidak.. Toh banyak yang melakukan, dan itu bukan urusanku”. Itulah yang menjadi target selanjutnya: menanggalkan kontrol sosial anda.. Jika laju ‘cuci otak’ ini terus berlanjut, sepuluh tahun ke depan, jangan heran jika akhirnya kitalah yang mengekspor video porno ke Amerika dan masyarakat Amerika lah yang nonton konser Iwak Peyek Tour 2022..
“Jangan melihat siapa yang mengatakan dong. Kalau mau mengkritisi, kritisi gagasannya, kata-katanya, fikirannya. Jangan kritisi pribadi dan kelakuannya (bahasa alaynya: ad ominem).”

Oalaaah.. Saya beri contoh kasus ringan. Misalnya, kata-kata ini diucapkan dua orang yang berbeda: “Saya akan memajukan bangsa Indonesia. Saya akan berjuang menciptakan budaya bebas korupsi, pola hidup sederhana, dan mengikis habis kebohongan birokrat dan legislatif” Yang pertama, diucapkan oleh Buya Hamka. Satu lagi, diucapkan Angelina Sondakh. Saya rasa, yang pertama membuat anda manggut-manggut percaya, dan yang kedua membuat anda setengah mati menggigit bibir, lalu terguling karena tertawa terbahak-bahak.. Kenapa kata-kata yang sama persis, dengan nada sama persis, tapi diucapkan oleh dua orang yang berbeda, hasilnya bisa berbeda? Setiap kata-kata, sebijak apapun, selalu ada motif dibaliknya. Dan motif itu, sangat terkait dengan pribadi orang yang mengucapkannya. Jadi, kenapa kita tidak boleh mengkritisi pribadi yang mengucapkannya?
Jika anda ingin minta pendapat tentang gaya rambut, anda bertanya kepada penata rambut, atau ke tukang las? Jika saya bilang “lha masa tukang las mengerti soal gaya rambut”, apa itu ad hominem?
Kasus Irshad Manji adalah contoh lain yang gamblang tentang hal itu. Dia dibesar-besarkan media sebagai seorang reformis muslim yang berusaha mencerahkan umat Islam. Tapi di dalam bukunya, ia membantah prinsip-prinsip Islam sendiri dengan cara mempromosikan lesbian, gay dan transgender, menghina jilbab, bahkan meragukan kesempurnaan Al Quran..  Jika kita mengkritisi pribadinya yang lesbian (dan tentu saja ia akan berjuang keras agar lesbian dihalalkan dalam Islam) dan mengkritisi sikapnya yang meragukan Al Quran, di mana salahnya? Bukankah kita memang selalu menilai siapa yang berbicara, bukan hanya apa yang ia ucapkan? Bagaimana mungkin dia seorang muslim, jika ia meragukan Al Quran? Itu kan sama saja dgn ia mengaku lesbian, sambil menyatakan lagi jatuh cinta dgn Rhoma Irama.. Lha kenapa jika kami meragukan keislamannya, tiba-tiba muncul teriak-teriak histeris “Ad hominem! Ad hominem!?”
Nah, kata bijak terakhir ini, mungkin adalah yang paling masuk akal, dan paling sulit dibantah. Tapi mungkin juga, inilah kata-kata bijak yang paling koplak..
“Di masyarakat yang plural ini, janganlah ada pemaksaan kehendak. Biarlah setiap orang melakukan pilihannya sendiri, tanpa paksaan. Sesuatu yang dipaksa itu pasti tidak baik. Nilai yang dianut setiap orang berbeda, jadi jangan paksakan nilai yang kamu anut terhadap orang lain.. Jangan jadi tirani mayoritas..”

Sulit membantahnya kan?
Pertama-tama, saya tanya dulu: apakah sebagian besar dari kita memang dengan sukarela masuk kerja jam 8 dan pulang jam 5 atau bahkan lembur? Apakah memang kita yang memohon-mohon agar jatah cuti kita setahun cukup dua minggu? Apa anda memang luar biasa ikhlas dengan jumlah gaji anda sekarang? Jika tidak, kenapa anda tidak coba mengatakan kepada atasan anda sekarang:”Maaf pak, sebenarnya saya menganut paham bahwa kerja itu hanya 3 jam sehari, cuti 6 bulan dalam setahun, dengan gaji minimal 30 juta. Jadi, jangan paksakan kehendak bapak..”
Apa anda dulu saat remaja belajar dengan sukarela, ikhlas bin legowo?
Semua hukum dan undang-undang, apalagi dalam alam demokrasi, pada prinsipnya, adalah pemaksaan kehendak, dari sebagian besar masyarakat yang sepakat, kepada masyarakat lainnya yang tidak sepakat. Memangnya semua orang setuju dengan UU tentang Narkotika? Atau UU tentang Korupsi? Atau bahkan UU Pajak? Apa anda kira semua wajib pajak memang sudah gatal setengah mati ingin membayar pajak sebesar itu? Lha kenapa kaum liberal ga pernah menjerit-jerit di jalanan: “Jangan paksakan kehendak! Biarkan mereka bayar pajak seikhlasnya..”
Jadi kenapa, saat ada penduduk di suatu daerah setuju untuk memberlakukan perda anti prostitusi, perjudian dan miras, dengan hukuman cambuk bagi pelakunya, kaum liberal tiba-tiba lantang berteriak “Itu melanggar HAM!”. Anda kira memenjarakan orang itu tidak melanggar HAM nya untuk hidup bebas merdeka? Dan kenapa, ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi berusaha disahkan, tiba-tiba saja prinsip demokrasi berdasar suara terbanyak dianggap sebagai tirani mayoritas? Jika memang begitu, ga ada salahnya dong jika para pecandu narkoba dan miras ramai-ramai naik xenia untuk demo di jalanan dan berteriak “Jangan jadi tirani mayoritas! Kalian sudah melanggar HAM kami untuk ajeb-ajeb sampai pagi..”.
Jika saja setiap undang-undang harus disepakati semua orang dulu baru bisa disahkan, maka kita tidak akan pernah punya undang-undang satu pun. Yang tidak boleh, adalah memaksa dengan kekerasan. Jika sudah banyak yang setuju, dan memang UU itu demi kebaikan bersama (sama seperti kita dipaksa belajar saat remaja), di mana salahnya?
Penutup
Jujur, saya tidak membenci orang-orang liberal. Beberapa teman-teman dekat saya adalah orang liberal. Dan saya tahu, beberapa dari mereka, memang yakin bahwa yang mereka perjuangkan adalah demi kebaikan bangsa.. Tapi, banyak juga di antara mereka yang hanya ingin menciptakan lingkungan yang tepat, untuk melampiaskan nafsu mereka..
Tapi, saya koq sama sekali tidak sreg melihat arah menuju kebebasan yang mulai sangat kebablasan ini. Lihat generasi muda kita. Terus terang, jika melihat gang motor melintas yang membuat saya ngeri, video porno remaja yang terbit seminggu sekali, anak-anak SD di warnet yang saling memaki sambil mendownload lagu “selinting ganja di tangaaan…”, remaja yang membentak ibunya, siswa SMP menjual diri demi beli handphone, dan penjual narkoba yang jauh lebih banyak daripada indomaret, saya kadang-kadang pingin kemas-kemas dan pesan tiket ojek sekali jalan ke Timbuktu. Bukan ini lingkungan yang saya bayangkan bagi saya dan anak-anak saya kelak.. Dan saya bisa bayangkan masa depan negara kita jika para remaja yang seperti ini yang menjadi para pemimpin kita kelak..
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Mengharapkan media mainstream untuk mendidik remaja kita, sama saja seperti mengharapkan Lady Gaga mengisi kuliah subuh. Mereka lah yang menolak paling keras dan berjuang menggiring opini masyarakat setiap kali kita ingin negara mengendalikan mereka. Kadang-kadang, saya merasa, mereka lah yang menjadi lembaga superbody. Dan ingatlah: para wartawan media, adalah karyawan, yang tunduk pada kehendak majikan mereka.
Jurnalisme warga seperti kompasiana, forum-forum seperti kaskus, blog-blog, dan media-media online lainnya, mungkin itulah satu-satunya harapan kita di masa depan.  Sulit melawan media mainstream? Jelas, jika dilakukan sendirian. Tapi, saya yakin, banyak orang-orang yang memiliki nurani di luar sana yang, saya harap, bersedia menyeimbangkan dan memulihkan cuci otak masyarakat dari pengaruh yang telah media massa berikan. Ingatlah, revolusi raksasa yang merubah bangsa Arab sudah membuktikan, bahwa kekuatan jurnalisme warga yang bersatu bahkan mampu menumbangkan para pemimpin yang didukung salah satu negara terkuat di dunia. Demi hidup kita, dan hidup anak-anak kita, apa itu bukan sesuatu yang pantas diperjuangkan?
“Orang-orang yang mencari kebenaran itu, seperti air.. Jika dihadang, ia berbelok. Dibendung, ia akan merembes. Bahkan jika dibendung dengan menggunakan beton dalam bendungan raksasa, ia akan menguap.. Ia tidak akan pernah lelah mencari jalannya…”

Oleh : Dian Jatikusuma
Red : Catalist Fist