Ikhlas
Niat merupakan pendorong
kehendak manusia untuk mewujudkan suatu tujuan yang dituntutnya. Pendorong ini
banyak sekali ragamnya. Ada yang bersifat materiil, dan ada pula yang bersifat
spiritual. Ada yang bersifat individual, dan ada yang bersifat sosial. Ada yang
bertujuan duniawi, dan ada yang bertujuan akhirat. Ada yang berkaitan dengan
hawa nafsu, dll.
“Bahwasanya segala amal
perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang memperoleh
menurut apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya
kepada dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya,
maka hijrahnya kepada apa yang ditujunya “. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tarmidzi
dan An-Nasa’I)
“Barangsiapa yang
menghendaki keuntungan akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan
barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian
dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu kebahagiaan pun di akhirat “.
(QS. Asy-Syuraa: 20)
“Sesungguhnya Allah
tidak menerima amal kecuali jika (pelaku) amal itu ikhlas dan mencari keridhaan
Allah dengannya “. (HR. Nasa’i)
Sebagai seorang mukmin,
hendaknya pendorongnya dalam beramal itu adalah semata-mata menghendaki
keridhaan Allah dan demi akhirat, tidak mencampuri suatu amal dengan
kecenderungan dunia, misalnya karena menghendaki harta dunia, menghendaki
kedudukan, mencari sanjungan, tidak ingin dicela, dll, dan inilah yang disebut
ikhlas. Ikhlas dengan pengertian seperti di atas merupakan buah tauhid yang
sempurna kepada Allah SWT yaitu metauhidkan ibadah dan memohon pertolongan
hanya kepada Allah SWT, seperti yang sering kita ungkapkan di dalam sholat
ketika membaca Al-Fatihah: 5, “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya
kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. ” Dengan ikhlas yang murni inilah,
kita bisa membebaskan diri kita dari segala bentuk perbudakan, melepaskan diri
dari segala penyembahan selain Allah, seperti penyembahan kepada dinar, dirham,
perhiasan, wanita, kedudukan, tahta, kehormatan, nafsu, dll, dan dapat
menjadikan kita seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya,
“Katakanlah,
‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah).’” (QS. Al-An’am: 162-163).
Riya’ merupakan lawan
dari ikhlas merupakan kedurhakaan yang sangat berbahaya terhadap diri dan amal,
juga termasuk dosa yang merusak, sebagaimana firman Allah SWT,
“… seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia
tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu seperti
batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat,
lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun
dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orangorang yang kafir “. (QS. Al Baqarah [2]: 264)
Di ayat lain Allah SWT
berfirman,
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari sholatnya, orang-orang yang beruat riya’, dan enggan (menolong
dengan) barang yang berguna “. (QS. Al-Ma’un [107]:5-7)
Tentang riya’ ini di
dalam hadits, Rasulullah SAW pun bersabda,
“Sesungguhnya orang yang pertama-tama diadili pada hari kiamat adalah orang
yang mati syahid. Dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya
nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau
perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ‘Aku berperang kepada Engkau
hingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, “Engkau dusta. Tetapi engkau
berperang supaya dikatakan, ‘Dia adalah orang yang gagah berani.’ Dan memang
begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) “. Kemudian diperintahkan agar dia
diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya yang diadili
adalah seseorang yang memperlajari ilmu dan mengajarkan serta membaca Al-Qur’an.
Dia didatangkan ke pengadilan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya.
Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan
nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya
serta aku membaca Al-Qur’an karena-Mu.’ Allah berfirman, “Engkau dusta. Tetapi
engkau mempelajari ilmu agar dikatakan, ‘Dia adalah orang yang berilmu,’ dan
engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan,’Dia adalah qari’ (pandai membaca).’
Dan, memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) “. Kemudian diperintahkan
agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya yang diadili
adalah orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan juga diberi-Nya berbagai
macam harta. Lalu dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya
nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau
perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ‘Aku tidak meninggalkan satu
jalanpun yang Engkau suka agar dinafkahkan harta, melainkan aku menafkahkannya
karena-Mu.’ Allah berfirman, “Engkau dusta. Tetapi engkau melakukannya agar
dikatakan, ‘Dia seorang pemurah.’ Dan memang begitulah yang dikatakan (tentang
dirimu) “. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup
lalu dilemparkan ke dalam neraka “.
(HR. Muslim, An-Nasa’I, At-Tarmidzi dan Ibnu Hiban)
Tatkala Mu’awiyah
mendengar hadits ini, maka ia pun menangis hingga pingsan. Setelah siuman dia
berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya benar. Allah telah berfirman,
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami
berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka itu di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia tidak akan merugi. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka “.’ (QS. Huud [11]: 15-16)
Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]
Lillahi
Ta’ala
Lillahi ta’ala, secara
sederhana dapat diartikan dengan “hanya karena Allah yang suci”. Kalimat ini
bukan hanya menjadi ungkapan lisan tapi seharusnya menjadi prinsip dalam hidup
dan kehidupan setiap hamba kepada Allah. Kalimat Lillahi ta’ala kerap muncul
dalam setiap ibadah dalam Islam termasuk juga shalat. Dan biasanya kalimat
Lillahi ta’ala (karena Allah), selalu diucapkan pada saat awal-awal melakukan
suatu pekerjaan (ibadah); dalam hal ini disebut niat.
Allah menjadikan kita pada hakekatnya berfungsi sebagai khalifah-Nya diatas
dunia ini. Tugas kekhalifahan inilah yang apabila dijalankan dengan semestinya
dengan dilandasi oleh petunjuk-petunjuk yang Dia sampaikan dalam bentuk wahyu
tekstual maupun pemahaman kita terhadap ayat-ayat universal-Nya, maka akan
menjadi ibadah buat kita.
Sistematika kehidupan kita ini dimulai dari setetes mani yang bercampur untuk
kemudian seiring dengan sunnatullah atau hukum alamnya, terus mengalami
perkembangan tahap demi tahap sehingga menjadi sosok manusia sempurna. Itupun
baru pada tahapan bayi kecil tak berdaya. Kemudin kita tunduk pada kaidah
sunnatullah yang berproses sampai menjadi dewasa dan tua. Demikian seterusnya.
Ini hendaknya menjadi bagian dari pembelajaran atas kedewasaan pola pikir dan
pola pemahaman kita terhadap segala sesuatunya. Jika awalnya kita bertindak
hanya karena ikut-ikutan, maka mulailah kita belajar kenapa kita melakukan
sesuatu atau kenapa kita harus mempercayai sesuatu itu sebagai sebuah
kebenaran. Demikian pula misalnya dalam hal ibadah, jika sebelumnya kita
beribadah hanya karena mengharap surga atau takut karena neraka, maka
belajarlah untuk mulai menyikapi fenomena surga dan neraka sebagai motivator
kita kepada tingkat ibadah yang lebih tinggi lagi yaitu tingkat ibadah yang
hanya berharap ridho-Nya Allah. Dengan demikian, maka tingkat keikhlasan kita
beribadahpun secara berangsur-angsur tumbuh dengan sendirinya. Karena yang ada
dipikiran kita selama ini, ibadah itu untuk menyenangkan Allah dan bukan untuk
menyenangkan diri kita.
Salah atau tidak akhirnya kembali kepada seberapa jauh good-will kita
melakukannya. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan surga dan nerakanya,
tapi mulailah kita belajar untuk mencapai maqam lebih tinggi dari sekedar itu.
Anggaplah ibadah karena mengharap pahala tertentu itu adalah ibadahnya anak kecil,
dan karena kita sudah tidak lagi kecil, maka kitapun harus meng-update sasaran
ibadah kita. Demikianlah yang seharusnya seperti yang tercantum dalam surah 6
ayat 162. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Robb semesta alam” – Qs. al-An’am 6:162
Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]
Niat
Sahabat-sahabat
Rasulullah adalah generasi terbaik ummat ini. Mereka terus belajar dari
Rasulullah apa-apa saja yang harus dikerjakan dan apa saja yang mesti mereka
tinggalkan. Soal menjaga lurusnya niat di dalam hidup dan perjuangan mereka,
tak bosan-bosan para sahabat itu berguru kepada Rasulullah. Seperti dikisahkan
oleh Umamah radhiyallahu ‘anhu.
Ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah dan bertanya, “Wahai
Rasulullah, Apakah pendapat engkau tentang seseorang yang berperang dengan
tujuan mencari pahala dan popularitas diri. Kelak, apa yang akan ia dapat di
akhirat?” Rasulullah menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa “.Orang itu mengulangi
lagi pertanyaannya sampai tiga kali. Tetapi Rasulullah tetap menjawabnya, “Ia
tidak menerima apa-apa!” Kemudian beliau bersabda, Sesungguhnya Allah tidak
menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang mengharapkan
ridha-Nya. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Dalam kesempatan lain Abu Said Al-Khudri telah mengambil pelajaran berharga
dari Rasulullah pada saat haji wada’.
“Tiga perkara yang menjadikan seorang mukmin tidak akan menjadi pengkhianat:
Ikhlas beramal karena Allah, memberikan nasihat yang baik kepada para pemimpin
kaum Muslimin, dan senantiasa komitmen terhadap jama’ah “.(HR Ibnu Hibban).
Seni menjaga lurusnya niat tidaklah mudah. Karenanya, seperti dikatakan oleh
Fudhail bin “lyadh “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, dan beramal
karena manusia adalah syirik. Maka, ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkan
kamu dari keduanya “.
Urgensi niat sangatlah mendasar bagi kehidupan dan perjuangan setiap mukmin.
Dengannya segala amal akan diukur. Inilah yang didengar dan diamalkan Umar bin
Khatab dari Rasulullah, “Bahwa amal itu tergantung niat-nya”. Maka, tak
berlebihan kalau Imam Syafi’i menyebut hadits Rasulullah ini adalah sepertiga
dari seluruh ilmu.
Niat yang baik sering mengubah sesuatu yang mubah menjadi ibadah, Wajar bila
perhatian para salafusshalih kepada niat begitu besar. Dengarlah apa yang
dikatakan oleh Yahya bin Katsir, “Pelajarilah niat dalam beramal, karena niat
itu lebih cepat sampai kepada Allah dari pada amal yang engkau lakukan itu “.
Meski upaya menjaga lurusnya niat telah diupayakan, namun mereka tak merasa
puas dan cukup begitu saja. Iman yang benar telah menjadikan mereka memadukan
antara rasa pengharapan dan kecemasan. Karenanya, mereka masih menambahinya
dengan istighfar. Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Perbanyaklah istighfar di
rumahmu, di ruang makan, di tengah perjalanan, di pasar, tempat kerja, di
pertemuan-pertemuan dan di mana pun dirimu berda saat itu. Sebab engkau tidak
akan tahu di temapt manakah turunnya maghfirah Rabb-mu”. Nah bagaimana dengan
kita?
Sebuah masyarakat muslim yang utuh menjadi dambaan setiap sahabat. Tindak
tanduk ucapan mereka bisa menjadi cermin bagi ucapan di atas. Apalagi sebuah
jama’ah da’wah. Ibnu Mas’ud, misalnya, pernah memberi nasehat, “Wahai sekalian
manusia, hendaklah kalian selalu taat dengan jama’ah kaum muslimin. Karena
sesungguhnya ia adalah tali Allah yang kokoh yang diperintahkan untuk dipegang.
Sesungguhnya apa yang tidak engkau sukai dalam kebersamaan di jama’ah itu,
adalah lebih baik dari apa yang engkau sukai dalam keadaan terpecah belah “.
Hal serupa juga dilakukan para sahabat lainnya. Para sahabat lebih suka
memutuskan masalah dengan syura, agar barisan masyarakat muslim tetap rapat.
Suatu hari Umar ber-pidato,
“Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan untuk Islam ini orang-orang yang layak
untuk memeluknya. Lalu Allah menyatukan hati mereka dan menjadikan mereka
bersaudara. Seorang muslim dengan muslim yang lain bagaikan satu tubuh. Bila
yang satu terkena sakit yang lain tak akan tinggal diam. Karenanya, sangat layak
bila mereka menjadikan perkara mereka diputuskan dengan syura bersama para ahli
di antara mereka,”
Demikian Imam Ibnu Jarir meriwayatkan. Karenanya, Umar bin Khatab dalam
menjalankan pemerintahannya, menjadikan para sahabat senior, khususnya pengikut
perang Badr, untuk menjadi tim penasihatnya. Mereka bahkan tak boleh tinggal
jauh di luar Madinah.
Saat genting setelah wafatnya Rasulullah juga menjadi waktu penting para
sabahat untuk menjaga agar barisan da’wah Islam tetap utuh, seperti yang
ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib, misalnya. Kisahnya, setelah Abu Bakar di
angkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan menemui Ali seraya berkata, “Engkau
dikalahkan dalam urusan kekuasaan ini oleh suku Quraisy yang jumlah warganya
sedikit? Demi Allah, kalau engkau mau, kami akan memenuhi kampungnya dengan
laki-laki dan kuda-kuda (menyerbu), jika engkau mau “. Mendengar itu, Ali bin
Abi Thalib menjawab lantang, “Apakah engkau ini masih menjadi musuh Islam dan
kaum muslimin. Sesungguhnya semua ini (pengangkatan Abu Bakar) tak merugikan
Islam dan umatnya sedikitpun. Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa Abu Bakar
memang layak untuk itu “.
Untuk menjaga agar masyarakat mereka selalu rapi, para sahabat itu selalu
berusaha untuk dekat antara yang satu dengan yang lain. Menghindari
perselisihan dan mengutamakan persatukan. Sebagai pengikatnya, mereka
menepatkan kerinduan akan ridha Allah untuk mengalahkan potensi-potensi konflik
di antara mereka. Seperti yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud, “esungguhnya Allah,
dengan keadilan dan pengetahuan-Nya menjadikan kebahagian dan suka cita di
dalam sikap yang yakin dan ridha, dan menjadikan duka dan nestapa di dalam
sikap ragu-ragu dan benci terhadap ketentuan-Nya”.
Mereka saling menghibur bila ada yang diuji oleh Allah. Suatu hari Ali bin Abi
Thalib menemui ‘Adi bin Hatim yang nampak kusut masai. Raut mukanya
menggambarkan kesedihan yang berat. “Mengapa engkau tampak bersedih hati?” Adi
menjawab Bagaimana aku tidak sedih, sedangkan dua orang anakku terbunuh dan
mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali menyahut, “Barang siapa ridha
terhadap takdir Allah, maka takdir itu tetap berlaku atasnya dan ia mendapatkan
pahala-Nya. Dan barangsiapa yang tidak ridha terhadap takdir-Nya, maka takdir
itu pun tetap berlaku atasnya dan terhapuslah pahalanya”.
Sikap ini juga kemudian diwarisi oleh para tabi’in. Lihatlah apa yang dikatakan
Hasan Al-Bashri, “Barangsiapa yang ridha terhadap apa yang sudah menjadi
suratan hidupnya, maka jiwanya akan merasa lapang menerima hal itu, dan Allah
pun akan memberkahinya. Tetapi, barangsiapa yang tidak ridha, maka pandangannya
menjadi sempit dan Allah juga tidak memberkahinya”.
Selain itu, para sahabat itu juga menjauhi berlaku curang. Al-Baihaqi
meriwayatkan, bahwa setiap tahun Abdullah bin Rawahah datang menemui Yahudi
Khaibar untuk menetapkan berapa bagian dari panen kurma yang harus mereka setor
kepada Rasulullah. Abdullah bin Rawahah menetapkan separoh hasil panen yang
harus disetorkan. Maka mereka mengeluh. Orang-orang Yahudi itu juga berusaha
menyuap Abdullah bin Rawahah. Dengan marah Abdullah menolak, “Wahai musuh-musuh
Allah. Kalian akan memberiku makanan kotor? Demi Allah, aku ini datang dari
orang yang paling tercinta di antara seluruh manusia. Dan sesungguhnya kalian
lebih aku benci dari pada kera dan babi. Namun ketahuilah, kebencianku kepada
kalian, juga kecintaanku kepada Rasulullah, tidak akan membuatku berbuat tidak
adil dengan menerima suap itu”. Mendengar itu orang-orang Yahudi itu berkata
“Dengan sikap seperti itulah langit dan bumi tegak”.
Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]
Hati
Setiap manusia memiliki
hati dan perasaan, baik rasa marah, rasa benci, rasa memiliki, rasa rindu, rasa
cinta maupun rasa percaya (iman) dan rasa mengingkari (kufur) keberadaan Allah.
Kalau kita menyadari, setiap apa yang kita lakukan dan kita ucapkan muncul dari
sebuah perasaan. Dan dari perasaan (afeksi) inilah muncul sebuah tindakan
(konasi). Namun selama ini hal yang menyangkut perasaan (hati) masih disangkut
pautkan hanya pada persoalan agama dan Tuhan. Padahal segala bentuk tindakan
pasti berasal dari apa yang dirasakan, apakah peasaan baik maupun perasaan
buruk.
Ditegaskan oleh ahli agama, terutama yang memperhatikan masalah akhlak kepada
Allah, berpendapat bahwa hati manusia merupakan kunci pokok pembahasan menuju
pengetahuan tentang Allah (makrifatullah). Hati juga berperan sebagai pintu dan
sarana Allah memperkenalkan kesempurnaann diri-Nya. Sebagaimana sabda Nabi
mengatakan:
Tidak dapat memuat zat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali ‘hati’ hamba-Ku yang
mukmin lunak dan tenang. (HR. Abu Dawud)
Hadist ini menyiratkan bahwa, pengetahuan tentang Allah tidak bisa sekedar
difahami oleh pikiran dan pengetahuan yang berasal dari respons indrawi, akan
tetapi hanya bisa dirasakan dan difahami oleh hatinya. Karena indrawi hanya
bisa menangkap sesuatu yang terbatas. Baik penglihatan, pendengaran dan
penciuman, hanya mampu ditangkap oleh indria dengan ukuran tertentu. Selebihnya
dari ukuran tersebut tidak akan tertangkap. Sebaliknya hati mampu menangkap
sesutu yang tersembunyi dibalik materi, seperti perasaan senang, rasa indah
terhadap sebuah benda (art), rasa cinta terhadap sesama maupun kepada Tuhan.
Sehingga Allah memberikan isyarat akan hal ini dalam Firmannya:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami dan
mereka mempunuai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melhat dan mereka
mempunyai telinga tidak dipergunakan untuk mendengar, mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai. (QS. Al A’raaf [7]:179).
Apakah mereka tidak pernah bepergian dimuka bumi ini supaya hatinya tersentak
memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang di telinganya untuk di dengarkan?
Sebenarnya yang buta bukan mata melainkan ‘hati’ yang ada dalam dada. (QS. Al
Hajj [22]:46).
Demikian juga rasa iman, tidaklah dikatakan orang beriman jika hanya sampai
kepada pemahaman pengetahuan membaca kitab secara tertulis sebagaimana ahli
kitab yang terdahulu yang telah tercabut rasa imannya. Kenyataan ini pernah
terjadi pengakuan orang Arab Badui yang mendatangi Rasulullah, bahwa dirinya
telah beriman kepada Allah. Namun pengakuan orang Badui tersebut dibantah oleh
Allah yang disampaikan melalui Rasulullah.
Orang-orang Arab badui itu berkata: Kami telah beriman. Katakan (kepada mereka)
kamu belum beriman, tetapi kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu (QS, Al Hujurat,49:14)
Dan Iman itu sesungguhhnya diturunkan oleh secara langsung dan dapat difahami
dan dirasakan oleh yang menerimanya.
….tetapi Allah-lah yang menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan
iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci keada kekafiran dan
kedurhakaan. Mereka itulah yang orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
Sebagaimana karunia dan nikmat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
bijaksana. (QS. Al Hujuraat [49]:7-8).
Penggunaan istilah hati dalam Al Qur’an menandakan pentingnya hati sebagai
tempat yang diperhatikan oleh Allah Swt. karena tempat perasaan baik maupun
buruk.
Al Qur’an menggunakan istilah Qalb (hati) dan menyebutnya sebanyak 132 kali.
Makna dasar kata qalb ialah membalik, kembali, pergi maju mundur, berubah, naik
turun. Diambil dari latar belakangnya, hati mempunyai sifat yang selalu
berubah. Sebab hati adalah tempat dari kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan
kesalahan. Hati adalah tempat dimana Tuhan mengungkapkan diri-Nya sendiri
kepada manusia. Kehadiran-Nya terasa didalam hati, dan wahyu maupun ilham
diturunkan ke dalam hati para nabi maupun wali-Nya. Allah berfirman :
…ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membuat batasan antara manusia dan hatinya
dan sesungguhnya kepada-nyalah kamu sekalian akan dikumpulkan (QS. Al Anfal
[8]:24).
….maka Jibril telah menurunkannya (Al qur’an) kedalam hati nuranimu dengan izin
Allah, membenarkan wahyu sebelumnya, menjadi peunjuk dan kabar gembira bagi
orang-orang yang beriman (QS. ,Al baqarah [2]:97).
Hati adalah pusat pandangan, pemahaman dan ingatan (dzikir). Penegasan
pengertian tersebut jelas sekali difirmankan Allah dalam Al Qur’an :
Apakah mereka tidak pernah bepergian dimuka bumi ini supaya hatinya tersentak
memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang ditelinganya untuk didengarkan?
Sebenarnya yang buta bukan mata, melainkan hati yang ada didalam dada (QS. Al
Hajj [22]:46).
Janganlah kamu turutkan orang yang hatinya telah kami alpakan dari mengingat
Kami (zikir), orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya saja,dan keadaan rang
itu sudah keterlaluan (QS. Al Kahfi [18]:28).
Memang hati mereka telah kami tutup hingga mereka tidak dapat memahaminya,
begitu pula liang telinganya telah tersumbat…. ( QS. Al Kahfi [18]:57).
Apakah mereka tidak merenungkan isi Al Al Qur’an? atau adakah hati mereka yang
terkunci? (QS. Muhammad [47]:24).
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk
mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
lagi,mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raaf,7:179).
Iman tumbuh dan bersemayam di dalam hati. dan didalam hati pula tumbuhnya
kekafiran, kemungkaran serta penyelewengan dari jalan yang lurus. Oleh sebab
itu Allah tetap menegaskan, bahwa perilaku ibadah seseorang tidak bisa hanya
dilihat dari sekedar syarat sah rukun syariat saja, akan tetapi harus sampai
kepada pusat iman, yaitu hati. Karena sering dan banyaknya ibadah yang kita
lakukan, kerap kali kita bahkan peribadatan selalu menuntut pemurnian hati
(keikhlasan). Padahal kemurnian hati inilah yang akan menghasilkan sesuatu yang
haq, serta memberi dampak kepada iman seseorang secara langsung.
Iman yang benar mempunyai ciri tersendiri dan diakui oleh Al qur’an. Ia
tertegun dan terharu tatkala nama Allah disebut. Sehingga terdorong ingin
meluapkan kegembiraan dan kerinduannya seraya bersujud dan menangis. Hal ini
disebabkan adanya kesadaran jiwa yang mampu menembus sinar ilahy yang selalu
memancar kepada jiwa yang mau mendekat kepada Allah. Dengan hatilah seorang
mukmin mampu menangkap petunjuk yang diturunkan oleh Allah Swt. Dan dengan hati
pula Allah menurunkan kesesatan seseorang yang mengingkari Allah.
Allah menilai segala perbuatan manusia ditentukan oleh niat yang ada dalam
hati. Rasulullah menuntun kita untuk bekerja dengan hati. Karena Allah hanya
mau menerima segala perbuatan yang diniatkan dengan sungguh-sungguh, dan
menolak perbuatan orang-orang yang hatinya munafiq. Seperti diungkapkan dalam
Al Qur’an :
Innal munafiqiini yukhadi’uunallah,wa hua yakhidi’uhum …(QS An Nisaa’ [4]:142)
Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]
Artikel dari
http://zulkarnaen.wordpress.com