Wednesday, June 17, 2015

KEUTAMAAN ISTIGHFAR

Salah satu amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah adalah beristighfar.

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah setiap hari beristighfar tidak kurang dari 100 kali. Padahal beliau adalah seorang hamba yang ma’shum alias terjaga dari dosa.
fadhilah istighfar2
Subhanallah…
Sebagai ummatnya kita yang banyak dosa ini hendaknya memperbanyak Istighfar, memohon ampun kepada Allah. Inilah 25 Fadhilah Dan Keutamaan ISTIGHFAR
1 Membuat Allah Gembira
Rasulullah saw bersabda, “Sungguh Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya seperti kegembiraan salah seorang dari kalian yang menemukan untanya yang hilang di padang pasir.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2 Dicintai Allah
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS.al-Baqarah: 222). Rasulullah bersabda, “Orang yang bertobat adalah kekasih Allah. Orang yang bertobat atas dosanya, bagaikan orang yang tidak berdosa. “(HR.Ibnu Majah)
3 Dosa-dosanya diampuni
Rasulullah bersabda, “Allah telah berfirman,” Wahai hamba-hamba-Ku, setiap kalian pasti berdosa kecuali yang Aku jaga. Maka beristighfarlah kalian kepada-Ku, niscaya kalian Aku ampuni. Dan barangsiapa yang meyakini bahwa Aku punya kemampuan untuk mengampuni dosa-dosanya , maka Aku akan mengampuninya dan Aku tidak peduli (berapa banyak dosanya). “(HR.Ibnu Majah, Tirmidzi)
Imam Qatadah berkata, “Al-Qur’an telah menunjukkan penyakit dan obat kalian. Adapun penyakit kalian adalah dosa, dan obat kalian adalah istighfar. “(Kitab Ihya’Ulumiddin: 1/410).
fadhilah istighfar3
4 Selamat dari api neraka
Hudzaifah berkata, “Saya adalah orang yang tajam lidah terhadap keluargaku, Wahai Rasulullah, aku takut kalau lidahku itu menyebabkan aku masuk neraka ‘. Bersabda, ‘Dimana posisimu terhadap istighfar? Sesungguhnya, aku senantiasa beristighfar kepada Allah sebanyak seratus kali dalam sehari semalam ‘. “(HR. Nasa’i, Ibnu Majah, al-Hakim dan dishahihkannya).
5 Mendapat balasan surga
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. “(QS. Ali’Imran: 135-136).
6 Membuat kecewa setan
Sesungguhnya setan telah berkata, “Demi kemuliaan-Mu ya Allah, aku terus-menerus akan menggoda hamba-hamba-Mu selagi roh mereka ada dalam badan mereka (masih hidup). Maka Allah menimpalinya, “Dan demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku senantiasa mengampuni mereka selama mereka memohon ampunan (beristighfar) kepada-Ku.” (HR.Ahmad dan al-Hakim).
fadhilah istighfar
7 Membuat setan putus asa
Ali bin Abi Thalib pernah didatangi oleh seseorang, “Saya telah melakukan dosa ‘.’ Bertobatlah kepada Allah, dan jangan kamu ulangi ‘, kata Ali. Orang itu menjawab,’ Saya telah bertobat, tapi setelah itu saya berdosa lagi ‘. Ali berkata , ‘Bertobatlah kepada Allah, dan jangan kamu ulangi’. Orang itu bertanya lagi, ‘Sampai kapan?’ Ali menjawab, ‘Sampai setan berputus asa dan merasa rugi. “(Kitab Tanbihul Ghafilin: 73).
8 Meredam Azab
Allah berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS.al-Anfal: 33).
9 Mengusir kesedihan
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan untuk setiap kesempitannya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR.AbuDaud, Ibnu Majah dan Ahmad).
fadhilah istighfar2
10 Melapangkan kesempitan
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan untuk setiap kesempitannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka,” (HR.AbuDaud, Ibnu Majah dan Ahmad).
11 Melancarkan rezeki
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba bisa tertahan rezekinya karena dosa yang dilakukannya.” (HR.Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).
12 Membersihkan hati
Rasulullah saw bersabda, “Apabila seorang mukmin melakukan suatu dosa, maka tercoretlah noda hitam di hatinya. Ketika ia bertobat, meninggalkannya dan beristighfar, maka bersihlah hatinya. “(HR.Nasa ‘i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Tirmidzi).
13 Mengangkat derajat di surga
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat seorang hamba di surga. Hamba itu berkata, ‘Wahai Allah, dari mana saya dapat kemuliaan ini?’ Allah berkata, ‘Karena istighfar anakmu untukmu’. “(HR.Ahmad dengan sanad hasan).
14 Mengikuti Sunnah Rasul
Abu Hurairah berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Demi Allah, sesungguhnya aku minta ampun kepada Allah (beristighfar) dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali’.” (HR.Bukhari).
15 Menjadi sebaik-baik orang yang bersalah
Rasulullah bersabda, “Setiap anak Adam pernah bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang segera bertobat.” (HR.Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim).
fadhilah istighfar3
16 Bersifat sebagai hamba Allah yang sejati
Allah berfirman, “Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdo’a: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap tak at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun (beristighfar) di waktu sahur. “(QS.Ali ‘Imran: 15-17).
17 Terhindari dari menjadi orang yang dzalim
Allah berfirman, “… Barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang Dzalim.” (QS. al-Hujurat: 11)
18 Mudah mendapatkan anak
Allah berfirman, “Maka aku katakan kepada mereka:” Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai. “(QS.Nuh: 10-12).
19 Mudah mendapatkan hujan
Ibnu Shabih berkata, “Hasan al-Bashri pernah didatangi seseorang dan mengadu bahwa lahannya tandus, ia berkata, ‘Perbanyaklah istighfar’. Lalu ada orang lain yang mengadu bahwa kebunnya kering, ia berkata, ‘Perbanyaklah istighfar’. Lalu ada orang lain lagi yang mengadu bahwa ia belum punya anak, ia berkata, ‘Perbanyaklah istighfar’. (Kitab Fathul Bari: 11/98)
20 Bertambah kekuatannya
Allah berfirman, “Dan (dia berkata):” Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa. ” (QS. Hud: 52)
fadhilah istighfar
21 Bertambah kesejahteraannya
Allah berfirman, “Maka aku katakan kepada mereka:” Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. “(QS.Nuh: 10-12).
22 Menjadi orang yang beruntung
Allah berfirman, “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS.an-Nur: 31).
Aisyah berkata, “Beruntunglah, orang-orang yang menemukan istighfar yang banyak pada setiap lembar catatan harian amal mereka.” (HR.Bukhari).
23 Keburukannya diganti dengan kebaikan
Allah berfirman, “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Furqan: 70).
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan sore) dan pada bagian awal dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. “(QS. Hud: 114).
24 Tanda sebagai orang mukmin
Rasulullah bersabda, “Tidak seorangpun dari umatku, yang apabila ia berbuat baik dan ia menyadari bahwa yang diperbuat adalah kebaikan, maka Allah akan membalasnya dengan kebaikan. Dan tidaklah ia melakukan suatu yang tercela, dan ia sadar sepenuhnya bahwa perbuatannya itu salah, lalu ia mohon ampun (beristighfar) kepada Allah, dan hatinya yakin bahwa tiada Tuhan yang bisa mengampuni kecuali Allah, maka dia adalah seorang Mukmin. “(HR.Ahmad ).
25 Berkepribadian sebagai orang bijak
Seorang ulama berkata, “Tanda orang yang arif (bijaksana) itu ada enam. Bila ia menyebut nama Allah, ia merasa bangga. Bila menyebut dirinya, ia merasa hina. Bila memperhatikan ayat-ayat Allah, ia ambil pelajarannya. Bila muncul keinginan untuk bermaksiat, ia segera mencegahnya. Ketika disebutkan ampunan Allah, ia merasa gembira. Dan ketika mengingat dosanya, ia segera beristighfar. “(Kitab Tanbihul Ghafilin: 67).
fadhilah istighfar2

Friday, April 24, 2015

15 - 5 - 15

Yaa Allah Ar Rohman Ar Rohim ….
Sesungguhnya hati ini telah terhimpun dalam cinta dan bertemu dalam taat kepadaMu. Eratkanlah ikatannya,
kekalkanlah kasih sayangnya, berkahilah jalannya dan penuhilah hati ini dengan cahaya-Mu yang tak pernah pudar.
Yaa Allah... Perkenankanlah kami :


untuk menjalankan sunnah RasulMu 
dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah 
dan menghasilkan keturunan yang sholih dan sholihah.
Aamiin ya rabbal 'alamin


Wednesday, April 8, 2015

IKHLAS, LILLAHI TA’ALA, NIAT, HATI


Ikhlas
Niat merupakan pendorong kehendak manusia untuk mewujudkan suatu tujuan yang dituntutnya. Pendorong ini banyak sekali ragamnya. Ada yang bersifat materiil, dan ada pula yang bersifat spiritual. Ada yang bersifat individual, dan ada yang bersifat sosial. Ada yang bertujuan duniawi, dan ada yang bertujuan akhirat. Ada yang berkaitan dengan hawa nafsu, dll.

“Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang memperoleh menurut apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ditujunya “. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tarmidzi dan An-Nasa’I)

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu kebahagiaan pun di akhirat “. (QS. Asy-Syuraa: 20)

“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika (pelaku) amal itu ikhlas dan mencari keridhaan Allah dengannya “. (HR. Nasa’i)

Sebagai seorang mukmin, hendaknya pendorongnya dalam beramal itu adalah semata-mata menghendaki keridhaan Allah dan demi akhirat, tidak mencampuri suatu amal dengan kecenderungan dunia, misalnya karena menghendaki harta dunia, menghendaki kedudukan, mencari sanjungan, tidak ingin dicela, dll, dan inilah yang disebut ikhlas. Ikhlas dengan pengertian seperti di atas merupakan buah tauhid yang sempurna kepada Allah SWT yaitu metauhidkan ibadah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah SWT, seperti yang sering kita ungkapkan di dalam sholat ketika membaca Al-Fatihah: 5, “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. ” Dengan ikhlas yang murni inilah, kita bisa membebaskan diri kita dari segala bentuk perbudakan, melepaskan diri dari segala penyembahan selain Allah, seperti penyembahan kepada dinar, dirham, perhiasan, wanita, kedudukan, tahta, kehormatan, nafsu, dll, dan dapat menjadikan kita seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya,

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. Al-An’am: 162-163).

Riya’ merupakan lawan dari ikhlas merupakan kedurhakaan yang sangat berbahaya terhadap diri dan amal, juga termasuk dosa yang merusak, sebagaimana firman Allah SWT,

“… seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang kafir “. (QS. Al Baqarah [2]: 264)


Di ayat lain Allah SWT berfirman,
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang beruat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna “. (QS. Al-Ma’un [107]:5-7)


Tentang riya’ ini di dalam hadits, Rasulullah SAW pun bersabda,
“Sesungguhnya orang yang pertama-tama diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ‘Aku berperang kepada Engkau hingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, “Engkau dusta. Tetapi engkau berperang supaya dikatakan, ‘Dia adalah orang yang gagah berani.’ Dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) “. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.


Berikutnya yang diadili adalah seseorang yang memperlajari ilmu dan mengajarkan serta membaca Al-Qur’an. Dia didatangkan ke pengadilan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca Al-Qur’an karena-Mu.’ Allah berfirman, “Engkau dusta. Tetapi engkau mempelajari ilmu agar dikatakan, ‘Dia adalah orang yang berilmu,’ dan engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan,’Dia adalah qari’ (pandai membaca).’ Dan, memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) “. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya yang diadili adalah orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan juga diberi-Nya berbagai macam harta. Lalu dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ‘Aku tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau suka agar dinafkahkan harta, melainkan aku menafkahkannya karena-Mu.’ Allah berfirman, “Engkau dusta. Tetapi engkau melakukannya agar dikatakan, ‘Dia seorang pemurah.’ Dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) “. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka “.
(HR. Muslim, An-Nasa’I, At-Tarmidzi dan Ibnu Hiban)


Tatkala Mu’awiyah mendengar hadits ini, maka ia pun menangis hingga pingsan. Setelah siuman dia berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya benar. Allah telah berfirman,
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka itu di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan merugi. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka “.’ (QS. Huud [11]: 15-16)

Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]


Lillahi Ta’ala

Lillahi ta’ala, secara sederhana dapat diartikan dengan “hanya karena Allah yang suci”. Kalimat ini bukan hanya menjadi ungkapan lisan tapi seharusnya menjadi prinsip dalam hidup dan kehidupan setiap hamba kepada Allah. Kalimat Lillahi ta’ala kerap muncul dalam setiap ibadah dalam Islam termasuk juga shalat. Dan biasanya kalimat Lillahi ta’ala (karena Allah), selalu diucapkan pada saat awal-awal melakukan suatu pekerjaan (ibadah); dalam hal ini disebut niat.

Allah menjadikan kita pada hakekatnya berfungsi sebagai khalifah-Nya diatas dunia ini. Tugas kekhalifahan inilah yang apabila dijalankan dengan semestinya dengan dilandasi oleh petunjuk-petunjuk yang Dia sampaikan dalam bentuk wahyu tekstual maupun pemahaman kita terhadap ayat-ayat universal-Nya, maka akan menjadi ibadah buat kita.

Sistematika kehidupan kita ini dimulai dari setetes mani yang bercampur untuk kemudian seiring dengan sunnatullah atau hukum alamnya, terus mengalami perkembangan tahap demi tahap sehingga menjadi sosok manusia sempurna. Itupun baru pada tahapan bayi kecil tak berdaya. Kemudin kita tunduk pada kaidah sunnatullah yang berproses sampai menjadi dewasa dan tua. Demikian seterusnya. Ini hendaknya menjadi bagian dari pembelajaran atas kedewasaan pola pikir dan pola pemahaman kita terhadap segala sesuatunya. Jika awalnya kita bertindak hanya karena ikut-ikutan, maka mulailah kita belajar kenapa kita melakukan sesuatu atau kenapa kita harus mempercayai sesuatu itu sebagai sebuah kebenaran. Demikian pula misalnya dalam hal ibadah, jika sebelumnya kita beribadah hanya karena mengharap surga atau takut karena neraka, maka belajarlah untuk mulai menyikapi fenomena surga dan neraka sebagai motivator kita kepada tingkat ibadah yang lebih tinggi lagi yaitu tingkat ibadah yang hanya berharap ridho-Nya Allah. Dengan demikian, maka tingkat keikhlasan kita beribadahpun secara berangsur-angsur tumbuh dengan sendirinya. Karena yang ada dipikiran kita selama ini, ibadah itu untuk menyenangkan Allah dan bukan untuk menyenangkan diri kita.

Salah atau tidak akhirnya kembali kepada seberapa jauh good-will kita melakukannya. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan surga dan nerakanya, tapi mulailah kita belajar untuk mencapai maqam lebih tinggi dari sekedar itu. Anggaplah ibadah karena mengharap pahala tertentu itu adalah ibadahnya anak kecil, dan karena kita sudah tidak lagi kecil, maka kitapun harus meng-update sasaran ibadah kita. Demikianlah yang seharusnya seperti yang tercantum dalam surah 6 ayat 162. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Robb semesta alam” – Qs. al-An’am 6:162

Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]


Niat 

Sahabat-sahabat Rasulullah adalah generasi terbaik ummat ini. Mereka terus belajar dari Rasulullah apa-apa saja yang harus dikerjakan dan apa saja yang mesti mereka tinggalkan. Soal menjaga lurusnya niat di dalam hidup dan perjuangan mereka, tak bosan-bosan para sahabat itu berguru kepada Rasulullah. Seperti dikisahkan oleh Umamah radhiyallahu ‘anhu.

Ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, Apakah pendapat engkau tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan popularitas diri. Kelak, apa yang akan ia dapat di akhirat?” Rasulullah menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa “.Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali. Tetapi Rasulullah tetap menjawabnya, “Ia tidak menerima apa-apa!” Kemudian beliau bersabda, Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang mengharapkan ridha-Nya. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Dalam kesempatan lain Abu Said Al-Khudri telah mengambil pelajaran berharga dari Rasulullah pada saat haji wada’.

“Tiga perkara yang menjadikan seorang mukmin tidak akan menjadi pengkhianat: Ikhlas beramal karena Allah, memberikan nasihat yang baik kepada para pemimpin kaum Muslimin, dan senantiasa komitmen terhadap jama’ah “.(HR Ibnu Hibban).
Seni menjaga lurusnya niat tidaklah mudah. Karenanya, seperti dikatakan oleh Fudhail bin “lyadh “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, dan beramal karena manusia adalah syirik. Maka, ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya “.

Urgensi niat sangatlah mendasar bagi kehidupan dan perjuangan setiap mukmin. Dengannya segala amal akan diukur. Inilah yang didengar dan diamalkan Umar bin Khatab dari Rasulullah, “Bahwa amal itu tergantung niat-nya”. Maka, tak berlebihan kalau Imam Syafi’i menyebut hadits Rasulullah ini adalah sepertiga dari seluruh ilmu.
Niat yang baik sering mengubah sesuatu yang mubah menjadi ibadah, Wajar bila perhatian para salafusshalih kepada niat begitu besar. Dengarlah apa yang dikatakan oleh Yahya bin Katsir, “Pelajarilah niat dalam beramal, karena niat itu lebih cepat sampai kepada Allah dari pada amal yang engkau lakukan itu “.

Meski upaya menjaga lurusnya niat telah diupayakan, namun mereka tak merasa puas dan cukup begitu saja. Iman yang benar telah menjadikan mereka memadukan antara rasa pengharapan dan kecemasan. Karenanya, mereka masih menambahinya dengan istighfar. Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Perbanyaklah istighfar di rumahmu, di ruang makan, di tengah perjalanan, di pasar, tempat kerja, di pertemuan-pertemuan dan di mana pun dirimu berda saat itu. Sebab engkau tidak akan tahu di temapt manakah turunnya maghfirah Rabb-mu”. Nah bagaimana dengan kita?

Sebuah masyarakat muslim yang utuh menjadi dambaan setiap sahabat. Tindak tanduk ucapan mereka bisa menjadi cermin bagi ucapan di atas. Apalagi sebuah jama’ah da’wah. Ibnu Mas’ud, misalnya, pernah memberi nasehat, “Wahai sekalian manusia, hendaklah kalian selalu taat dengan jama’ah kaum muslimin. Karena sesungguhnya ia adalah tali Allah yang kokoh yang diperintahkan untuk dipegang. Sesungguhnya apa yang tidak engkau sukai dalam kebersamaan di jama’ah itu, adalah lebih baik dari apa yang engkau sukai dalam keadaan terpecah belah “.

Hal serupa juga dilakukan para sahabat lainnya. Para sahabat lebih suka memutuskan masalah dengan syura, agar barisan masyarakat muslim tetap rapat. Suatu hari Umar ber-pidato,

“Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan untuk Islam ini orang-orang yang layak untuk memeluknya. Lalu Allah menyatukan hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Seorang muslim dengan muslim yang lain bagaikan satu tubuh. Bila yang satu terkena sakit yang lain tak akan tinggal diam. Karenanya, sangat layak bila mereka menjadikan perkara mereka diputuskan dengan syura bersama para ahli di antara mereka,”

Demikian Imam Ibnu Jarir meriwayatkan. Karenanya, Umar bin Khatab dalam menjalankan pemerintahannya, menjadikan para sahabat senior, khususnya pengikut perang Badr, untuk menjadi tim penasihatnya. Mereka bahkan tak boleh tinggal jauh di luar Madinah.

Saat genting setelah wafatnya Rasulullah juga menjadi waktu penting para sabahat untuk menjaga agar barisan da’wah Islam tetap utuh, seperti yang ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib, misalnya. Kisahnya, setelah Abu Bakar di angkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan menemui Ali seraya berkata, “Engkau dikalahkan dalam urusan kekuasaan ini oleh suku Quraisy yang jumlah warganya sedikit? Demi Allah, kalau engkau mau, kami akan memenuhi kampungnya dengan laki-laki dan kuda-kuda (menyerbu), jika engkau mau “. Mendengar itu, Ali bin Abi Thalib menjawab lantang, “Apakah engkau ini masih menjadi musuh Islam dan kaum muslimin. Sesungguhnya semua ini (pengangkatan Abu Bakar) tak merugikan Islam dan umatnya sedikitpun. Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa Abu Bakar memang layak untuk itu “.

Untuk menjaga agar masyarakat mereka selalu rapi, para sahabat itu selalu berusaha untuk dekat antara yang satu dengan yang lain. Menghindari perselisihan dan mengutamakan persatukan. Sebagai pengikatnya, mereka menepatkan kerinduan akan ridha Allah untuk mengalahkan potensi-potensi konflik di antara mereka. Seperti yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud, “esungguhnya Allah, dengan keadilan dan pengetahuan-Nya menjadikan kebahagian dan suka cita di dalam sikap yang yakin dan ridha, dan menjadikan duka dan nestapa di dalam sikap ragu-ragu dan benci terhadap ketentuan-Nya”.

Mereka saling menghibur bila ada yang diuji oleh Allah. Suatu hari Ali bin Abi Thalib menemui ‘Adi bin Hatim yang nampak kusut masai. Raut mukanya menggambarkan kesedihan yang berat. “Mengapa engkau tampak bersedih hati?” Adi menjawab Bagaimana aku tidak sedih, sedangkan dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali menyahut, “Barang siapa ridha terhadap takdir Allah, maka takdir itu tetap berlaku atasnya dan ia mendapatkan pahala-Nya. Dan barangsiapa yang tidak ridha terhadap takdir-Nya, maka takdir itu pun tetap berlaku atasnya dan terhapuslah pahalanya”.

Sikap ini juga kemudian diwarisi oleh para tabi’in. Lihatlah apa yang dikatakan Hasan Al-Bashri, “Barangsiapa yang ridha terhadap apa yang sudah menjadi suratan hidupnya, maka jiwanya akan merasa lapang menerima hal itu, dan Allah pun akan memberkahinya. Tetapi, barangsiapa yang tidak ridha, maka pandangannya menjadi sempit dan Allah juga tidak memberkahinya”.

Selain itu, para sahabat itu juga menjauhi berlaku curang. Al-Baihaqi meriwayatkan, bahwa setiap tahun Abdullah bin Rawahah datang menemui Yahudi Khaibar untuk menetapkan berapa bagian dari panen kurma yang harus mereka setor kepada Rasulullah. Abdullah bin Rawahah menetapkan separoh hasil panen yang harus disetorkan. Maka mereka mengeluh. Orang-orang Yahudi itu juga berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah. Dengan marah Abdullah menolak, “Wahai musuh-musuh Allah. Kalian akan memberiku makanan kotor? Demi Allah, aku ini datang dari orang yang paling tercinta di antara seluruh manusia. Dan sesungguhnya kalian lebih aku benci dari pada kera dan babi. Namun ketahuilah, kebencianku kepada kalian, juga kecintaanku kepada Rasulullah, tidak akan membuatku berbuat tidak adil dengan menerima suap itu”. Mendengar itu orang-orang Yahudi itu berkata “Dengan sikap seperti itulah langit dan bumi tegak”.

Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]


Hati 

Setiap manusia memiliki hati dan perasaan, baik rasa marah, rasa benci, rasa memiliki, rasa rindu, rasa cinta maupun rasa percaya (iman) dan rasa mengingkari (kufur) keberadaan Allah. Kalau kita menyadari, setiap apa yang kita lakukan dan kita ucapkan muncul dari sebuah perasaan. Dan dari perasaan (afeksi) inilah muncul sebuah tindakan (konasi). Namun selama ini hal yang menyangkut perasaan (hati) masih disangkut pautkan hanya pada persoalan agama dan Tuhan. Padahal segala bentuk tindakan pasti berasal dari apa yang dirasakan, apakah peasaan baik maupun perasaan buruk.

Ditegaskan oleh ahli agama, terutama yang memperhatikan masalah akhlak kepada Allah, berpendapat bahwa hati manusia merupakan kunci pokok pembahasan menuju pengetahuan tentang Allah (makrifatullah). Hati juga berperan sebagai pintu dan sarana Allah memperkenalkan kesempurnaann diri-Nya. Sebagaimana sabda Nabi mengatakan:
Tidak dapat memuat zat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali ‘hati’ hamba-Ku yang mukmin lunak dan tenang. (HR. Abu Dawud)

Hadist ini menyiratkan bahwa, pengetahuan tentang Allah tidak bisa sekedar difahami oleh pikiran dan pengetahuan yang berasal dari respons indrawi, akan tetapi hanya bisa dirasakan dan difahami oleh hatinya. Karena indrawi hanya bisa menangkap sesuatu yang terbatas. Baik penglihatan, pendengaran dan penciuman, hanya mampu ditangkap oleh indria dengan ukuran tertentu. Selebihnya dari ukuran tersebut tidak akan tertangkap. Sebaliknya hati mampu menangkap sesutu yang tersembunyi dibalik materi, seperti perasaan senang, rasa indah terhadap sebuah benda (art), rasa cinta terhadap sesama maupun kepada Tuhan. Sehingga Allah memberikan isyarat akan hal ini dalam Firmannya:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami dan mereka mempunuai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melhat dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakan untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raaf [7]:179).

Apakah mereka tidak pernah bepergian dimuka bumi ini supaya hatinya tersentak memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang di telinganya untuk di dengarkan? Sebenarnya yang buta bukan mata melainkan ‘hati’ yang ada dalam dada. (QS. Al Hajj [22]:46).

Demikian juga rasa iman, tidaklah dikatakan orang beriman jika hanya sampai kepada pemahaman pengetahuan membaca kitab secara tertulis sebagaimana ahli kitab yang terdahulu yang telah tercabut rasa imannya. Kenyataan ini pernah terjadi pengakuan orang Arab Badui yang mendatangi Rasulullah, bahwa dirinya telah beriman kepada Allah. Namun pengakuan orang Badui tersebut dibantah oleh Allah yang disampaikan melalui Rasulullah.

Orang-orang Arab badui itu berkata: Kami telah beriman. Katakan (kepada mereka) kamu belum beriman, tetapi kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu (QS, Al Hujurat,49:14)

Dan Iman itu sesungguhhnya diturunkan oleh secara langsung dan dapat difahami dan dirasakan oleh yang menerimanya.

….tetapi Allah-lah yang menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci keada kekafiran dan kedurhakaan. Mereka itulah yang orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagaimana karunia dan nikmat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi bijaksana. (QS. Al Hujuraat [49]:7-8).

Penggunaan istilah hati dalam Al Qur’an menandakan pentingnya hati sebagai tempat yang diperhatikan oleh Allah Swt. karena tempat perasaan baik maupun buruk.
Al Qur’an menggunakan istilah Qalb (hati) dan menyebutnya sebanyak 132 kali. Makna dasar kata qalb ialah membalik, kembali, pergi maju mundur, berubah, naik turun. Diambil dari latar belakangnya, hati mempunyai sifat yang selalu berubah. Sebab hati adalah tempat dari kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan. Hati adalah tempat dimana Tuhan mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada manusia. Kehadiran-Nya terasa didalam hati, dan wahyu maupun ilham diturunkan ke dalam hati para nabi maupun wali-Nya. Allah berfirman :
…ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membuat batasan antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-nyalah kamu sekalian akan dikumpulkan (QS. Al Anfal [8]:24).
….maka Jibril telah menurunkannya (Al qur’an) kedalam hati nuranimu dengan izin Allah, membenarkan wahyu sebelumnya, menjadi peunjuk dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman (QS. ,Al baqarah [2]:97).

Hati adalah pusat pandangan, pemahaman dan ingatan (dzikir). Penegasan pengertian tersebut jelas sekali difirmankan Allah dalam Al Qur’an :
Apakah mereka tidak pernah bepergian dimuka bumi ini supaya hatinya tersentak memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang ditelinganya untuk didengarkan? Sebenarnya yang buta bukan mata, melainkan hati yang ada didalam dada (QS. Al Hajj [22]:46).
Janganlah kamu turutkan orang yang hatinya telah kami alpakan dari mengingat Kami (zikir), orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya saja,dan keadaan rang itu sudah keterlaluan (QS. Al Kahfi [18]:28).

Memang hati mereka telah kami tutup hingga mereka tidak dapat memahaminya, begitu pula liang telinganya telah tersumbat…. ( QS. Al Kahfi [18]:57).
Apakah mereka tidak merenungkan isi Al Al Qur’an? atau adakah hati mereka yang terkunci? (QS. Muhammad [47]:24).

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi,mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raaf,7:179).

Iman tumbuh dan bersemayam di dalam hati. dan didalam hati pula tumbuhnya kekafiran, kemungkaran serta penyelewengan dari jalan yang lurus. Oleh sebab itu Allah tetap menegaskan, bahwa perilaku ibadah seseorang tidak bisa hanya dilihat dari sekedar syarat sah rukun syariat saja, akan tetapi harus sampai kepada pusat iman, yaitu hati. Karena sering dan banyaknya ibadah yang kita lakukan, kerap kali kita bahkan peribadatan selalu menuntut pemurnian hati (keikhlasan). Padahal kemurnian hati inilah yang akan menghasilkan sesuatu yang haq, serta memberi dampak kepada iman seseorang secara langsung.

Iman yang benar mempunyai ciri tersendiri dan diakui oleh Al qur’an. Ia tertegun dan terharu tatkala nama Allah disebut. Sehingga terdorong ingin meluapkan kegembiraan dan kerinduannya seraya bersujud dan menangis. Hal ini disebabkan adanya kesadaran jiwa yang mampu menembus sinar ilahy yang selalu memancar kepada jiwa yang mau mendekat kepada Allah. Dengan hatilah seorang mukmin mampu menangkap petunjuk yang diturunkan oleh Allah Swt. Dan dengan hati pula Allah menurunkan kesesatan seseorang yang mengingkari Allah.

Allah menilai segala perbuatan manusia ditentukan oleh niat yang ada dalam hati. Rasulullah menuntun kita untuk bekerja dengan hati. Karena Allah hanya mau menerima segala perbuatan yang diniatkan dengan sungguh-sungguh, dan menolak perbuatan orang-orang yang hatinya munafiq. Seperti diungkapkan dalam Al Qur’an :
Innal munafiqiini yukhadi’uunallah,wa hua yakhidi’uhum …(QS An Nisaa’ [4]:142)

Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]

Artikel dari http://zulkarnaen.wordpress.com