Ketertarikan
dan bakat Dewa Budjana pada musik – khususnya gitar – sudah sangat
dominan terlihat sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar di
Klungkung Bali. Saat itu yang ada dalam benak Budjana kecil mungkin udah
penuh dengan bayangan gitar, gitar……..dan gitar aja. Sampe-sampe di
benak doi yang masih hijau itu bayangan gitar yang selalu ada itu
terimplementasi menjadi suatu rencana “kejahatan kecil”. Doi pengen
banget punya gitar. Mau minta langsung ama kakek/neneknya (saat itu doi
tinggal/ikut kakeknya) dioi pikir pasti nggak bakal dikasihlah. Makanya
akhirnya timbul niat “jahat” tadi, yaitu nyuri uang kakeknya untuk beli
gitar. Bak penjahat profesional yang mau beroperasi, segala sesuatunya
sudah betul-betul matang direncanakan. Kebetulan kakek neneknya adalah
pelantun kidung / kakawin. Setiap Sabtu pasangan itu selalu “live on
air” di RRI Klungkung melantunkan kakawin-kakawin. Nah, ini kondisi yang
ter-planning di benak sang ‘penjahat’ kecil Dewa Budjana. Seperti
lazimnya rumah-rumah di Bali, dalam satu keluarga komposisi rumah selalu
ada rumah induk yang dan rumah-rumah di sekelilingnya. Kakek-nenek
Budjana tinggal di rumah induk yang setiap mereka berdua pergi selalu
dikunci rapat. Rencana “operasi gitar perdana” (begitu ‘kali kalo diberi
judul) sudah betul-betul matang. Sebelum kakek-nenek berangkat ke RRI
sang ‘penjahat’ sudah menyelinap ke rumah induk dan sembunyi di bawah
kolong. Begitu kakek-nenek pergi dan mengunci rumah dari luar, otomatis
sang ‘penjahat’ bisa leluasa beroperasi. Operasi itu rupanya termasuk
operasi kilat, nggak nyampe bilangan belasan menit Budjana sudah
berhasil mengantongi sepuluh ribu rupiah dan kabur lewat jendela (dikit
banget yah hasil jarahannya ; namanya juga penjahat kecil-kecilan).
Nama asli / lengkap : |
I Dewa Gede Budjana |
Tempat / tgl lahir : |
Waikabubak, 30 Agustus 1963 |
Motto hidup : |
" TAT TWAM ASI " |
Musisi favorit : |
Keith Jarret , Jeff Beck , Jaco Pastorius |
Jenis music favorit : |
Traditional |
Album solo : |
- ALBUM SOLO "NUSA DAMAI" (1997)
- ALBUM ROHANI "NYANYIAN DHARMA" (1998)
- ALBUM SOLO "GITARKU" (2000)
- ALBUM SOLO "SAMSARA" (2003) |
Group : |
- SQUIRRELL (1980 - 1985)
- SPIRIT (1989 - 1992)
- JAVA JAZZ (1993 - 1994)
- GIGI (1994 - Sekarang) |
Website pribadi : |
dewabudjana.com | | | | |
Besoknya Budjana tak sabar lagi segera cabut ke Denpasar untuk
merealisasikan obsesinya selama ini. Akhirnya……….dia pun sukses membawa
gitar akustik lokal tanpa merek (buatan Solo) pulang ke Klungkung.
Dan…….pas banget, harga gitarnya juga sepuluh ribu rupiah. Itu adalah
gitar pertama yang dia miliki sepanjang karirnya di musik. Sayang sekali
gitar bersejarah itu sudah nggak jelas lagi juntrungnya. Kalo ada akan
semakin perfect-lah jajaran koleksi gitar Budjana yang sekarang sudah
mencapai jumlah sekitar tiga puluhan itu. (mendampingi gitar elektrik
pertamanya yang berhasil diburu lagi setelah sempat dijual)
Dengar Budjana mulai genjrang-genjreng dengan gitar barunya, sang
nenek pun (yang udah tahu kalo duitnya ilang Rp 10.000) langsung mafhum.
Nyamperin Budjana yang lagi asyik dengan gitar barunya dan langsung
dengan sedikit puitis (dasar pelantun kidung) ngomong ke doi : “Tadi
malam aku mimpi kehilangan duit Bud…….”, ujar sang nenek. Budjana pun
langsung berubah casting dari ‘penjahat’ menjadi ‘ksatria’, “Oh iya, itu
memang aku yang nyuri”, aku Budjana polos. “Aku nyuri buat beli gitar”,
sambung Budjana. Dan sang nenek udah nggak bisa apa-apa lagi.
Beressss……..urusan casting ‘penjahat’ udah kelar, sekarang mulai casting
peran baru dan panjang…….gitaris! Wah, kayaknya casting gitarisnya belum clear bener dari pengaruh casting ‘penjahat’.
Sejak punya gitar Budjana jadi rada lesu darah untuk sekolah. Maunya
gitaran terus aja sepanjang hari. Jelas itu bukan jenis kemauan yang
bakal direstui sesepuh. Nah di sini nih casting ‘penjahat’nya masih ada.
Whatever, bagi Budjana nomore satu adalah gitar. Jadi kalo jam
berangkat sekolah dia pun pake seragam dan pamit ama kakek-neneknya
berangkat sekolah. Akan tetapi………….karena lokasi kamarnya terpisah dari
rumah induk dia pun dengan mudah setelah pamit sekolah puter balik
kembali ke kamarnya dan langsung ‘menggauli’ gitarnya lagi sampe saat
jam pulang sekolah langsung lanjut adegan ‘adegan sinetron’ pulang
sekolah. Pake sepatu lagi, keluar kamar muter sedikit dan langsung balik
ke rumah induk, say hello ama grandfa en grandma seakan pulang sekolah
(he..he..he…bisa aja elo Budj!)
Ditanya soal materi apa aja yang dia ulik dengan gitarnya itu
sepanjang hari, mengingat waktu itu jelas referensi untuk belajar gitar
jelas minim banget – apa lagi untuk kota sekaliber Klungkung.
“Yaah…cuman denger-denger dari kaset aja….sama ngarang-ngarang sendiri”,
jelas Budjana. “Lagu pertama aku belajar gitar waktu itu lagunya Deddy
Dores ‘Hilangnya Seorang Gadis’ dan lagunya Rollies ‘Setangkai Bunga’”,
kenang Budjana. Saat itu Budjana sama sekali belum tersentuh
literatur-literatur musik/gitar yang formal. Buru-buru buku gitar, untuk
bisa ngikuti perkembangan musik – khususnya di Indonesia – aja dia
harus bela-belain ke Denpasar tiap minggu untuk beli majalah Aktuil
(satu-satunya majalah berita musik yang terbit di tahun tujuhpuluhan
itu). Fenomena ini juga bisa ngegambarin gimana intensnya interes
Budjana ke musik. Temen-temen sebayanya saat itu nggak bakal deh
bela-belain tiap minggu ke Denpasar pulang balik hanya buat beli Aktuil.
Lagian paling juga Budjana aja di lingkungan temen SD-nya yang tertarik
ama majalah Aktuil. Paling bacaan mereka juga sejenis majalah Bobo
gitu.
Tahun 1976 Budjana ikut bokapnya yang dipindahtugaskan ke Surabaya.
Di Surabaya inilah tapak karirnya di musik semakin jelas. Dia
melanjutkan sekolah di SMP Negeri I dan kebetulan sekolah yang satu ini
kegiatan ekstra kurikulernya cukup oke punya, khususnya di sektor ekstra
kurikuler musiknya. Tiap tahun sekolah ini menggelar malam kesenian
untuk menampung aspirasi murid-muridnya di bidang seni.
Dan di SMP I ini pula Budjana mendapat pengalaman manggung pertama
kali. Saat persiapan malam kesenian seperti biasa diadakan seleksi
(audisi) buat murid-murid yang ingin tampil. Dan Budjana pun ikut
ngedaftar dengan materi lagu andalan saat pertama kali dia bisa main
gitar : “Setangkai Bunga”.Tiga tahun dia menambah pengalaman dan jam terbangnya berolah musik
dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler di SMP I. Pucuk dicinta ulam
tiba. Dia di Surabaya lebih bisa memuaskan kehausannya pada ilmu-ilmu
bermusik secara lebih formal. Budjana mulai belajar gitar klasik kepada
Pek Siong di Yayasan Seni Musik Indonesia . Sementara selama dia di
Klungkung referensi musiknya masih sangat terbatas. Di Surabaya dia
mulai mengenal dan tertarik pada jenis musik-musik lain yang sebelumnya
belum dia kenal karena keterbatasan referensi tadi. Budjana mulai
tertarik dengan John Mc Laughlin (Mahavishnu Orchestra) dan bahkan jadi
mengubah visi bermusik Budjana. Album “Birds of Fire” dan “Natural
Element” (Shakti) adalah album Mc Laughlin yang menjadi favorit Budjana.
Selain itu dia juga cukup interes dengan musik-musik artrock semacam
Yes, Gentle Giant dan lainnya.
Lulus SMP Budjana melanjutkan ke SMA Negeri 2 tahun 1980. Tak beda
jauh dengan saat di SMP I, SMA 2 pun kegiatan musiknya sangat oke!
Bahkan lebih intens. Saat di SMA ini Budjana mulai mendengarkan Pat
Metheny dan ini sangat terpengaruh pada pola dan cara bermain gitar
Budjana. Juga album-album produksi ECM seperti John Abercrombie, Keith
Jarret dan Bill Frissel.
Tahun 1981 Budjana bersama beberapa temannya di SMA 2 membentuk
Squirell Band dan bersama band inilah Budjana semakin berkiprah di
blantika musik. Secara rutin Squirell mengisi acara jazz di TVRI stasiun
Surabaya, juga panggung-panggung sekolah dan kampus di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Puncak prestasi Squirell adalah saat berhasil meraih juara I
Light Music Contest di Jakarta tahun 1984. Saat itu Squirell membawakan
komposisi Dewa Budjana “Nusa Damai”. Yang unik saat itu Budjana memakai
fretless guitar desainnya sendiri (dengan body berbentuk bintang) yang
sekarang sudah menjadi salah satu pajangan di Hard Rock Café Jakarta
bareng gitar-gitar para gitaris dunia.
Tahun 1985 Budjana hijrah ke Jakarta dengan pertimbangan bahwa
peluang untu mengembangkan karir di Jakarta lebih luas terbuka. Selain
itu dia merasa teman-temannya bermusik di Surabaya dirasa nggak terlalu
total ke musik, nggak seimbang dengan dia yang bener-bener total di
musik dan itu dianggap akan menghambat karirnya secara individu maupun
secara grup. Mulailah sang ‘penjahat’ kecil membuka lembaran baru di ibukota. Jurus Melawan Rutinitas Jakarta Setelah berada di tengah-tengah ramenya Jakarta tahun 1985, apa yang dilakukan Budjana?
Merasa udah pernah meraih juara bareng Squirell di Light Music
Contest setahun sebelumnya, Budjana menganggap sudah banyak orang tahu
dan mengenal dirinya dia sebagai musisi. Belakangan terbukti dia cuma
ge-er. Ceritanya, berbekal referensi bahwa Squirell Band yang punya
komposisi jazz sendiri, Budjana nekat datang ke pub untuk mulai
menjajagi dunia entertain, lalu nyoba-nyoba nge-jam ama grup yang sedang
main. Apa yang terjadi? Saat disuruh main lagu jazz standar yang
termasuk gampang pun, ternyata dia nggak mampui nggak bisa.
Dari situ Budjana baru sadar manfaat belajar jazz standar. Budj
(begitu panggilan akrabnya) langsung aja nemuin almarhum Jack Lesmana,
maestro jazz kita, dan kepada bokap Indra Lesmana ini Budj
‘mendaftarkan’ diri sebagai murid. Memang nggak salah alamat kalo
pengagum Mahatma Gandhi ini berguru pada Jack Lesmana, dari beliau Budj
banyak mengenal dan mendapatkan filosofi-filosofi bermain jazz, termasuk
– tentu saja -- standard jazz.
Lantas, kenapa memilih jazz? Budjana berkisah, awalnya karena
pengaruh tren musik saat pertama dia mulai intens di musik. Di akhir
tahun 70-an saat Budjana masih SMP di Surabaya, yang sedang ngetren
adalah musik-musik yang saat itu diistilahlan sebagai jazz rock atau
juga jazz kontemporer. Banyak kaset-kaset yang beredar dengan label atau
judul “Contemporary Jazz”, “Jazz Vocal” dan sebagainya dengan materi
seperti musisi Al Dimeola, John Mc. Laughlin ataupun grup-grup seperti
Weather Report, Return to Forever, dll.
Budjana mengaku banyak belajar dari situ. Saking seringnya tampil
bersama Squirell-nya dalan event jazz di Surabaya, akhirnya orang lebih
mengenal Budjana sebagai pemain jazz. Padahal Budjana dan temen-temennya
di Squirell sebenarnya nggak ada yang nguasain jazz secara yang
sebenarnya. Di lingkungan musisi jazz sudah membudaya kalo lagi
ngumpul-ngumpul secara spontan mereka akan main bareng, istilahnya
nge-jam. Ternyata, setiap kali kesempatan itu datang anak-anak Squirell
selalu mati kutu. Jazz bohong-bohongan dong?
“Yah mungkin waktu itu kita cuma kebawa tren aja, jadi rada ada sok
jazz-nya lah, cuma kenal kulitnya doang. Nggak mikir bahwa perlu belajar
serius dari yang standar”, kilah Budjana. Melewati masa itu menurut
Budjana ada bagusnya juga. “Kita jadi punya bekal dan terasah untuk
menjadi senang bikin komposisi sendiri”, ujarnya. Kreasinya yang pertama
untuk komposisi combo berjudul Legong Kusamba.
“Sebelum itu sih sering juga ngarang-ngarang untuk kebutuhan operet
di sekolah, tapi sifatnya ya hanya sepenggal-sepenggal aja sesuai dengan
kebutuhan cerita”, jelas penggemar warna biru ini. Setelah merasa cukup punya bekal dari sang suhu, tahun 1986 Budjana
‘turun gunung’ mulai berkiprah dari pub ke pub sebagai session player
memainkan top 40 dan musik-musik lain konsumsi dunia hiburan malam.
Selain itu juga main di klub-klub jazz. Itu berlangsung sampai tahun
1993. Ditanya soal dampak positif-negatifnya main rutin di dunia hiburan
malam selama itu Budjana menjelaskan, “Kami jadi lebih mengenal dan
lebih peduli tentang sound (warna suara) khususnya kalo kami bawain top
40 sebab kami kan bawain macam-macam lagu. Kami jadi mengenal berbagai
jenis lagu. Selain itu menambah reflek kami dalam bermain musik, dengan
seringnya main kalo kami denger satu chord, kamiharus main ke mana,
mainin yang gimana jadi bisa lebih reflek ngikutinnya”. “Satu lagi, kami bisa belajar menghargai orang lain, dalam hal ini
adalah tamu-tamu pub. Kami nggak bisa main semaunya sendiri tanpa
mempedulikan selera tamu”, lanjut Budjana. Dampak negatifnya menurut
Budjana kelamaan main di pub cenderung menghilangkan kreativitas.
“Untungnya waktu itu aku masih sering ke Farabi (yayasan/sekolah
musik. red.) Ngajar, terus kadang-kadang latihan dengan formasi trio,
walaupun frekuensinya kecil paling tidak aktivitas berkreasi masih
terjaga”, sambungnya.
Pada umumnya segala aktivitas yang sifatnya rutin tanpa
penyegaran-penyegaran akan membuat kita jadi jenuh, suntuk, mentok dan
akhirnya mandeg. Untuk mengantisipasi itu Budjana punya kiat rada unik.
Saat dia rutin memainkan jazz standar di klub-klub jazz, di luar itu
sehari-harinya dia malah dengerin lagu-lagu pop seperti milik Toto.
Sebaliknya saat di udah gabung ama Hydro – yang dominan bawain lagu-lagu
sejenis Toto – dia malah sering dengerin lagu-lagu jazz standar. Biar
seimbang, mungkin itu maksudnya.
Budjana memang lolos dari jebakan rutinitas ‘main malam’ (istilah
musisi untuk main rutin di pub, café atau klub)., karena di samping itu
juga aktif sebagai session player di dapur rekaman, di konser-konser big
band/orchestra juga sempat gabung dengan beberapa band. Awal Budjana hijrah ke Jakarta sempat gabung dengan Indra Lesmana
Group. Juga sebagai gitaris di Jimmy Manoppo Big Band, Orkes Telerama,
Elfa’s, Twilite Orchestra, Erwin Gutawa Orchestra dan lain-lain. Tentu
saja aktivitas-aktivitas itu menuntut kemampuan dalam membaca dan
memahami not secara prima. Di sini Budjana lebih banyak lagi belajar
membaca not dan makin banyak mengenal karakter musik.
Sebagai session player di dapur rekaman cukup banyak juga petikan
gitarnya menghiasi album rekaman seperti : Catatan si Boy 2, Indra
Lesmana, Andre Hehanusa, Heidy Yunus, Memes, Chrisye, Mayangsari, Dewi
Gita, Desy Ratnasari, Potret, Trakebah, Caesar (Deddy Dores), Nike
Ardila, dll. Tahun 1989 Dewa Budjana gabung dengan Spirit Band dan sempat
menghasilkan dua album. Yang pertama dirilis tahun itu juga dengan judul
yang sama dengan nama grupnya, “Spirit” , dan yang kedua dirilis pada
1993 dengan judul “Mentari” yang diambil dari judul lagu karya
kolaborasi Budjana (lagu) & Ingrid Widjanarko (lirik). Lepas dari
Spirit, pengidola Bill Frissel ini gabung ama Indra Lesmana, Embong
Rahardjo dan lainnya membentuk Java Jazz dan bermain rutin di Jamz.
Setahun kemudian Java Jazz ikut ambil bagian di perhelatan akbar musisi
jazz dunia North Sea Jazz Festival di Den Haag Belanda. Tahun itu juga
grup jazz ini menelurkan album dengan judul Bulan di Atas Asia.
Pada 1992 Budjana pernah menyampaikan keinginannya untuk membentuk
grup band dengan dua pemain gitar. Keinginannya tersebut baru terwujud
dua tahun kemudian, yaitu pada 1994. Dia membentuk band dengan formasi
dua gitaris, berpasangan dengan Baron. Band itulah yang sekarang kamu
kenal dengan nama GIGI.
Nggak kejebak rutinitas di GIGI Budj? “Pasti terjadi juga, kayak saat
tur Kilas Balik 33 kota pasti timbul kejenuhan, bedanya kalo di GIGI
kan dalam rutinitasnya masih ada rutinitas aktivitas berkarya, nggak
seperti ‘main malam’ yang terus memainkan lagu orang. Itu yang paling
bahaya!”, tandasnya.
“Lagipula di GIGI kan kerja tim. Dalam proses kreatif bisa saling
mengisi, kalo yang satu lagi turun mood-nya yang satunya mood-nya lagi
bagus. Jadi proses kreatif secara tim akan terus berjalan”, lanjutnya.
Selain itu Budjana membuat komposisi-komposisi untuk album solonya juga
merupakan satu bentuk penyegaran yang lain dari aktivitas di GIGI.
Makanya dia punya target paling tidak dua atau tiga tahun sekali dia
rencanakan bikin album solo di tengah program album GIGI yang targetnya
setahun sekali.
Tahun 1997 Budjana menelurkan album solo pertamanya dengan judul
“Nusa Damai” yang merupakan kumpulan komposisinya sejak awal doi
mengenal gitar. Banyak pemerhati musik menyebut Nusa Damai sebagai
otobiografi perjalanan musik gitaris penggemar film action ini. Di salah
satu nomor album ini (“Ruang Dialisis”) Budj melibatkan almarhumah
neneknya – yang duitnya pernah dicuri ‘Budjana kecil’ untuk beli gitar
(baca edisi Juni) – untuk melantunkan kidung. Tahun ini Budjana juga
sudah merampungkan album solo keduanya yang diberi judul “Gitarku” yang
tinggal tunggu jadwal rilis aja.
Ditanya tentang gimana membagi waktu antara kegiatannya di GIGI
dengan program solonya yang mungkin nantinya akan menyita banyak waktu,
misalnya, untuk promo dan konser-konsernya, dia menjawab mantap: “GIGI
tetap prioritas utama!” (baca box: Ketika Budjana Harus Memilih). Ketika Budjana Harus Memilih…. Bak judul sebuah sinetron, begitulah kehidupan Dewa Budjana. Baginya,
GIGI merupakan bagian terbesar dari perjalanan karirnya sebagai
gitaris. Karena itu, ketika ditanya kemungkinannya untuk cabut dari grup
tersebut, dia menjawab dengan mantap. “Nggak mungkinlah aku ninggalin
GIGI, kecuali ada kondisi-kondisi yang nggak memungkinkan lagi aku
bareng anak-anak GIGI lainnya di Jakarta”. Maksudnya, mungkin aja kan
terjadi kasus-kasus seperti di Ambon atau lainnya yang udah menyangkut
SARA. Mau nggak mau dia bakal ngacir ke Bali. “Kan nggak mungkin
aktivitas GIGI berpusat di Bali”, katanya berandai-andai.
Kekhawatiran mungkin Budjana terlalu berlebihan. Maka, hal itu
sebaiknya lebih dilihat sebagai ungkapan rasa cintanya pada GIGI. Atau
sekadar basa-basi?
“Selama aku pernah ngengrup sebelum GIGI dan dari pengamatanku pada
grup-grup yang ada, kayaknya di GIGI lah ku temui bentuk toleransi yang
paling bagus”, begitu alasannya. “Sebetulnya kurang objektif kalo aku
yang ngomong soal ini, karena aku ada di dalamnya. Harusnya orang lain
ya yang ngomong. Tapi kenyataannya ya gitu itu yang aku rasakan”,
sambungnya.
Memang dalam sebuah grup musik selain faktor teknis maupun non
teknis, toleransi antar personel adalah faktor yang tak kalah penting.
Perjalanan GIGI dari awal terbentuknya memang tidak mulus. Hengkangnya
Baron, cabutnya Thomas, keluarnya Ronald, kemudian masuknya Budhy dan
Opet dilanjut dengan resign-nya Opet dan kembalinya Thomas merupakan
guncangan-guncangan beruntun yang menguji kekokohan GIGI. Dan waktu
telah membuktikan bahwa Budjana-Armand cukup tegar dalam mempertahankan
eksistensi GIGI.
Seperti diketahui, Dewa Budjana sempat merilis album solo berjudul,
Nusa Damai, yang bernuansa personal dan jauh dari unsur komersialisme.
Tapi tak tertutup kemungkinan bahwa jenis musik seperti ini suatu saat
bakal bisa diterima. Dengan catatan strateginya mendapat perlakuan yang
sama. Artinya, di situ ada perencanaan, kerja sama dengan berbagai
kalangan, dan lain sebagainya. Ini kan hal yang menarik.
Budjana sendiri bukannya tidak menginginkan kondisi-kondisi seperti
itu. Tapi, baginya toleransi hal yang paling penting. “Yang sulit dalam
hidup ini kan toleransi…dan di GIGI toleransi itu sangat bagus”,
ujarnya. Dia lantas bercerita tentang Armand Maulana yang lebih sering
punya peluang untuk berkarier sendiri di luar grup, kayak jadi
presenter, model iklan, atau apa pun. Toh kenyataannya peluang itu nggak
pernah diambil. Lantas Budhy Haryono, misalnya. Tahun lalu pernah
mendapat tawaran untuk ikut konser atau workshop selama beberapa minggu
di Australia. Tawaran yang bagus itu nggak diambil karena GIGI jadwalnya
lagi padat.
“Aku pun begitu, GIGI adalah prioritas utama. Kalo aku bikin album
solo, itu sekadar media untuk menyalurkan ekspresi dan kreativitas aja”,
jelas gitaris yang suka traveling ini. “Sifatnya lebih eksklusif, kalo
GIGI konsernya bisa padat banget (setahun bisa sampai 68 kali show.
red), untuk soloku misalnya dalam bentuk konser gitar okestra setahun
cuman empat kali udah cukup buat aku. Sekadar pengen ada aja sebagai
simbol album soloku”, sambungnya. “Karena nggak mungkin ngejalanin
bareng-bareng dengan kapasitas yang sama. Nggak mungkin bisa didapat
dua-duanya”, lanjutnya lagi.
Jadi, jelas kan apa yang bakal dilakukan Budjana pada saat dia harus memilih? (dieth)