Saturday, January 29, 2022

Jual Beli Jin

Pada zaman  sekarang  perdagangan sebagai sumber penghasilan tidak  kalah penting dibandingkan dengan pertanian. Fenomena  perdagangah pun  sudah  lama  dikenal. Bentuk dan caranya saja yang berbeda. Kalau dulu menggunakan sistem barter, maka sekarang karena dipandang tidak praktis  transaksi  jual beli dilakukan dengan  memakai  alat tukar  uang atau  surat-surat berharga Iain,

Barang yang  diperjualbelikan pun  makin  beragam, tapi masalah jual-beli jin tampaknya baru  terjadi  belakangan ini. Terlepas dari kebenaran berita tersebut, dan bagaimana praktiknya.

.Untuk menjawab pertanyaan apakah jin bisa diperjualbelikan, lebih dahulu dikemukakan pembahasan  singkat mengenai jin dan kriteria 'benda-benda  yang bisa diperdagangkan.

Pada hakikatnya jin sama dengan manusia. Ia juga mukallaf, dalam artian dibebani tugas-tugas dan  kewajiban. Ada  jin mukmin, ada  juga yang  kafir. Yang mukmin, ada  yang  taat, ada juga yang durhaka atau maksiat. Perbedaannya, Ia termasuk makhluk gaib  seperti  malaikat.' Hanya  orang-orang tertentu, dengan  cara tertentu  pula,  dapat melihatjin, bahkan  berdialog

dengannya. Bukti  paling konnrit  adanya  jin,  selain  dari  keterangan  Al-Quran  dan hadis, adalah orang gila atau majnun yang  secara  Jughawidalam bahasa Arab,  artinya  orang  yang kemasukan jin.

Jadi jin tidak sama  dengan  hewan.  Secara fungsional,  ia seperti manusia  yang tidak diciptakan Allah Swt. selain untuk beribadah kepada-Nya.

 Lain dari itu, salah satu syarat  jual beli adalah barang  (yang dijual)  harus  menjadi  milik penjual,  dengan  statusnya sebagai sesama  hamba Allah Swt.  Tidaklah dibenarkan mereka  saling

menguasai.  Karena itu,  perbudakan tidak  dibenarkan dalam Islam.                                ·

 

Sejak kedatangannya, Islam memperlakukan budak  secara manusiawi, sekaligus berupaya  menghapus perbudakan secara bertahap dengan jalan menjanjikan pahala  besar  bagi  orang- orang yang   memerdekakannya  dan dengan menjadikan raqabah (mernerdekakan budak)  sebagai kafa'ah (tebusan  atau denda)  atas beberapa kesalahan, seperti melanggar sumpah, membunuh orang  dan bersetubuh pada  siang hari pada  bulan Ramadhan dan lain-lain. Karena pada  dasarnya manusia  tidak luput  clan  kesalahan-kesalahan, rnaka  dengan sendirinya perbudakan akan  lenyap.              ·

.        Belum  lagi berbicara  tentang  diisyaratkannya barang  yang diperjualbelikan harus  dapat dilihat, seperti  termaktub dalam kitab Fath Al-Mu'in,  yang sudah  barang  tentu  tidak terpenuhi  dalam  kasus  penjualan jin.                         .

Dengan alasan-alasan tersebut, dapat disimpulkan, jin tidak boleh diperjualbelikan. Apalagi kalau kita mempertimbangkan pula  dampak-darnpak negatif yang  sangat mungkin timbul karena disalahgunakan, mengingat jin bersifat gaib dan memiliki kekuatan  yang cukup  besar.

Sebenamya  selain lin, banyak sekali benda yang tidak boleh diperdagangkan. Contohnya minuman keras serta obat-obatan terlarang. Tapi sayang, pernerintah  kurang bersungguh-sungguh dalam  menangani hal itu.

Sumber :  Buku Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh

Hukum Nikah Wali Saudara

 Dalam berbagai  kitab  fikih,  di antaranya   Al-UmmBujairami  'ala  Minhaj.  Madzahibu Al-Arba 'ah dan lain-laiditerangkan, urutan atau tartib  dalam masalah wali merupakan syarat dalam pelaksanaan akad nikah. Harus mendahulukan ayah, bila   berhalangan  digantikan  oleh kakek, demikian seterusnya menurut urutan yang  telah  ditentukan. Kalau  tartib merupakan syarat,  tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja.

Diterangkan dalam berbagai kitab Ushul  Fiqh, bahwa syarat adalah "ma yatawaqqafu 'alaihisihhatu asy-sya i wa laisa huwa minhu" (sesuatu  yang sah  atau tidaknya sesuatu  yang   lain tergantung kepadanya, dan  ia bukanlah bagian dari  sesuatu tersebut).  

Dari sisi lain,  perwalian merupakan hak  bagi  mereka   dan tidak  dapat diambil oleh pihak  lain.

Dari keterangan tersebut dapat diketahui, pernikahan mana yang menjadi wali adalah saudara,sementara kakek yang lebih berhak ada dan siap, dapat dianggap tidak sah. Terkecuali  ada mandat dari pihak kakek kepada saudara tersebut. Dalam  kasus  semacam  itu bila memang terjadi adalah mengulangi lagi akad nikah tersebut, agar terhindar dari hal-hal yang dilarang oleh agama.

Sumber : Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh

Wednesday, January 26, 2022

Tayamum dan Shalat di Pesawat

Dalam kondisi apa dan bagaimanapun seorang muslim tetap  terkena  kewajiban  menunaikan shalat

lima waktu pada waktunya secara sempurna. Namun da1am kondisi tertentu seperti sakit, sedang  berada  di perjalanan, tidak mendapatkan sesuatu yang  digunakan untuk bersuci  atau  karena  faktor  yang  lain, seseorang diperkenankan  menunaikannya sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan yang ada saat itu. Ini sebagaimana

fuman  Allah dalam Al-Qur'an yang artinya :     ''Allah'  tidak  akan memberikan beban kewajiban kepeda seseorang kecuali berdasarkan  kemampuannya." (Al-Baqarah : 286)                                         -                                

Salah satu praktiknya seperti yang dialami oleh jamaah haji di dalam  pesawat ketika sudah  masuk  waktu  shalat. Salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadas besar dan  kecil serta  najis.  Untuk menjaga  dari  hadas  besar dan najis,  barangkali  banyak orang bisa  melakukannya, tapi sebaliknya sedikit orang yang bisa menjaga diri tetap suci dari hadas kecil sehingga untuk  menjalankan shalat mereka harus berwudhu  dengan air yang mensucikan atau tayamum dengan debu terlebih-dahulu.

  Melihat fasilitas air di pesawat dengan kapasitas penurnpangnya, rasanya  tidak  mungkin para  jamaah haji mendapatkan air wudhu,  begitu pula ketika akan tayamum, sulit mendapatkan debu meski disandaran kursi sekalipun sesulit mendapatkan air di pesawat.                                                    

Dengan  demikian  tayamum di pesawat  memang  belum memenuhi syarat, dengan kata  lain  tidak  sah  karena  tidak terdapat debu yang bisa digunakan  untuk bersuci.

Koodisi semacam itu dimana seseorang ticlak bisa mendapatkan alat untuk bersuci (air.dan debu) dalam terminologi fikih disebut faqidu at-thahurain.  Dalam kondisi  ini  seseorang  tetap wajib menjalankan shalatnya sendiri-sendiri karena hurmatu al-wakti bukan  Liada   al-fardhi.  Oleh karena  itu  mereka   diwajibkan i'adah (mengulangi shalatnya)  ketika  sudah  memungkinkan bersuci.

Adapun  masalah  berjamaah  di pesawat bisa dibuat dua asumsi. Asumsi pertama, semua penumpang baik yang menjadi imam  atau makmum dalam  keadaan faqidu at-thahurain. Jamaah dengan  imam  yang  faqidu ath-thahurain tidak  sah karena  shalatnya  wajib  i'adah.

Asumsi kedua, dalam  pesawat  penumpang masih dalam keadaan  sud karena  masih  memiliki .wudhu, mereka  dapat menjalankan shalat sendiri atau berjamaah, Bolehkah menjalankannya dengan  duduk?  Menurut Syafi'iyah apabila tidak  mungkin  shalat dengari  berdiri  kerena  kesulitan  atau kepayahan ( 'ajzu) atau kemungkinan  mabuk udara maka boleh shalat dengan duduk:  (Al-Fiqhu Al-Islami II, 826).

Kalau diteliti lebih lanjut,  'ajzu itu tidak bisa dilihat  dari faktor internal individu ansich, tapi juga faktor ekstemal meliputi ruang  dan jalannya  tumpangan,  dalam  hal · ini pesawat  yang tidak memungkinkan  seseorang shalat dengan berdiri.

Jadi, jamaah dengan duduk bagi penumpang pesawat boleh-boleh saja sepanjang dipenuhi  syarat-syaratnya  yang meliputi, Pertama, niat makmum bagi makmum. Kedua, shalat yang dijalankan antara imam  dan  makmum adalah  shalat  yang sama. Ketiga, makmum tidak berada di depan imam, yang dalam praktiknya yang menjadi standar adalah pantat imam (makmum tidak maju melebihi pantat imam). Keempat, jamaah berada di satu tempa't sehingga makmum bisa melihat dan mendengarkan suara imam. Melihat dan mendengar  imam tidak harus secara langsung karena syarat itu  bisa  terpenuhi dengan melihat makmum di depan atau sampingnya yang secara bersambungan dapat  melihat  imam. Dan yang kelima,  makmum  mengikuti shalatnya imam.  (Al..Piqhu Al-Islsmi: I, 1240-1252).

sumber : Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh



Menyemir Rambut Membatalkan Shalat?

Menyemir (memberi  warna) rambut bukanlah fenomena baru zaman sekarang yang disebut modern. Dikalangan umat Islam, kebiasaan  menyemir rambut  sudah  ada pada masa  Rasulullah.  Menurut keterangan .beberapa hadis, Khalifah Abu Bakar dan Umar lbn Al-Khaththab pernah  menyemir rambutnya. Begitu juga pada  periode tabi'in dan  sesudahnya.

Ulama salaf generasi shahabat dan tabi'in  berbeda pendapat. Sebagian  menyatakan menyemir  rambut lebih utama. Sebagian yang lain berpendirian sebaliknya. Pendapat pertama berdasarkan pada kenyataan adanya sekelompok shahabat, tabi'in dan generasi setelah mereka yang menyemir rambut sebagaimana beberapa hadis. Sedangkan pendapat  kedua merujukpada sunah  Rasulullah  yang memang tidak pemah menyemir  rambut.Khilaf  juga  terjadi  pada  pemilihan warna

Khilaf  juga  terjadi  pada  pemilihan warna semir. Ulama  Syafi'iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan  Hanabilah  sepakamemperbolehkan warna selain hitam.  Khusus semir  warna hitam, menurut Syafi'iyah hukumnya haram.  Selain Syafi'iyah.  hanya menghukumi makruh.  Perbedaan pendapat ini dirunut dari sebuah hadis  yang  menceritakan peristiwa pada  masa penaklukan  Mekkah. Waktu  itu, Abu Quhafah, orang tua Sayyidina  Abu  Bakar  dibawa  menghadap kepada  Rasulullah, dalam keadaan  kepalanya  disemir dengan warna puti(tsughamah). Melihat hal  itu, Rasulullah  berkata kepada  para shahabat, "Bawalah dia kepada salah satu istrinya, agar mengubah wama rambutnya, dan  hindarilah wama hitam."

Dalam hadis ini, Rasulullah memerintahkan agar menghindari warna  hitam. Dalam ushul  fikih, perintah bisa bersifat wajib (Li al-wujub) dan  sunah (Li an-nadb). Yang menyatakan wajib, mengharamkan warna hitam.  Sebaliknya, 'yang  menganggap sunah,  memakruhkan. (Ghayah Al-Wushul: Al-Fiqh AL-Islami. IV, 2679-2680, kitab  Al-Fiqh  'ala  Al-Madzahib Al-Arba 'ah:  II, 46-47).

Penyemiran tidak  mempunyai kaitan langsung dengan keabsahan atau batalnya shalat. Ia tidak termasuk perkara yang membatalkan shalat, sehingga  harus  ditinggalkan. Bukan pula syarat dan rukunnya, yang harus  dilakukan.                     ·

Penyemiran hanya berhubungan  dengan  salah  satu persyatatan shalat. Keabsahan shalat mensyaratkan kesucian dari  hadas  dan  najis.   Hadas. dihilangkari dengan mandi  dan wudhu. Salah satu  syarat  mandi dan  wudhu adalah  tiadanya benda  atau zat penghalang yang mencegah  sampainya air ke seluruh tubuh, termasuk rambut kepala.  Dari  sisi ini, semir rambut yang  menghalangi sampainya air  ke rambut dapat menjadi penyebab  ketidakabsahan shalat, karena  wudhu atau mandinya tidak sah.  Dari  sisi lain, menyemir rambut dapat mencegah  keabsahan  shalat bila semir yang dipakai berasal dari bahan  yang  najis.

Dengan demikian, asal semir terbuat dari bahan  yang suci, serta tidak menghalangi air sampai ke rambut, maka shalatnya tetap  sah.