Wednesday, April 8, 2015

IKHLAS, LILLAHI TA’ALA, NIAT, HATI


Ikhlas
Niat merupakan pendorong kehendak manusia untuk mewujudkan suatu tujuan yang dituntutnya. Pendorong ini banyak sekali ragamnya. Ada yang bersifat materiil, dan ada pula yang bersifat spiritual. Ada yang bersifat individual, dan ada yang bersifat sosial. Ada yang bertujuan duniawi, dan ada yang bertujuan akhirat. Ada yang berkaitan dengan hawa nafsu, dll.

“Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang memperoleh menurut apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ditujunya “. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tarmidzi dan An-Nasa’I)

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu kebahagiaan pun di akhirat “. (QS. Asy-Syuraa: 20)

“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika (pelaku) amal itu ikhlas dan mencari keridhaan Allah dengannya “. (HR. Nasa’i)

Sebagai seorang mukmin, hendaknya pendorongnya dalam beramal itu adalah semata-mata menghendaki keridhaan Allah dan demi akhirat, tidak mencampuri suatu amal dengan kecenderungan dunia, misalnya karena menghendaki harta dunia, menghendaki kedudukan, mencari sanjungan, tidak ingin dicela, dll, dan inilah yang disebut ikhlas. Ikhlas dengan pengertian seperti di atas merupakan buah tauhid yang sempurna kepada Allah SWT yaitu metauhidkan ibadah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah SWT, seperti yang sering kita ungkapkan di dalam sholat ketika membaca Al-Fatihah: 5, “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. ” Dengan ikhlas yang murni inilah, kita bisa membebaskan diri kita dari segala bentuk perbudakan, melepaskan diri dari segala penyembahan selain Allah, seperti penyembahan kepada dinar, dirham, perhiasan, wanita, kedudukan, tahta, kehormatan, nafsu, dll, dan dapat menjadikan kita seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya,

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. Al-An’am: 162-163).

Riya’ merupakan lawan dari ikhlas merupakan kedurhakaan yang sangat berbahaya terhadap diri dan amal, juga termasuk dosa yang merusak, sebagaimana firman Allah SWT,

“… seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang kafir “. (QS. Al Baqarah [2]: 264)


Di ayat lain Allah SWT berfirman,
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang beruat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna “. (QS. Al-Ma’un [107]:5-7)


Tentang riya’ ini di dalam hadits, Rasulullah SAW pun bersabda,
“Sesungguhnya orang yang pertama-tama diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ‘Aku berperang kepada Engkau hingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, “Engkau dusta. Tetapi engkau berperang supaya dikatakan, ‘Dia adalah orang yang gagah berani.’ Dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) “. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.


Berikutnya yang diadili adalah seseorang yang memperlajari ilmu dan mengajarkan serta membaca Al-Qur’an. Dia didatangkan ke pengadilan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca Al-Qur’an karena-Mu.’ Allah berfirman, “Engkau dusta. Tetapi engkau mempelajari ilmu agar dikatakan, ‘Dia adalah orang yang berilmu,’ dan engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan,’Dia adalah qari’ (pandai membaca).’ Dan, memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) “. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya yang diadili adalah orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan juga diberi-Nya berbagai macam harta. Lalu dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, ‘Aku tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau suka agar dinafkahkan harta, melainkan aku menafkahkannya karena-Mu.’ Allah berfirman, “Engkau dusta. Tetapi engkau melakukannya agar dikatakan, ‘Dia seorang pemurah.’ Dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) “. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka “.
(HR. Muslim, An-Nasa’I, At-Tarmidzi dan Ibnu Hiban)


Tatkala Mu’awiyah mendengar hadits ini, maka ia pun menangis hingga pingsan. Setelah siuman dia berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya benar. Allah telah berfirman,
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka itu di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan merugi. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka “.’ (QS. Huud [11]: 15-16)

Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]


Lillahi Ta’ala

Lillahi ta’ala, secara sederhana dapat diartikan dengan “hanya karena Allah yang suci”. Kalimat ini bukan hanya menjadi ungkapan lisan tapi seharusnya menjadi prinsip dalam hidup dan kehidupan setiap hamba kepada Allah. Kalimat Lillahi ta’ala kerap muncul dalam setiap ibadah dalam Islam termasuk juga shalat. Dan biasanya kalimat Lillahi ta’ala (karena Allah), selalu diucapkan pada saat awal-awal melakukan suatu pekerjaan (ibadah); dalam hal ini disebut niat.

Allah menjadikan kita pada hakekatnya berfungsi sebagai khalifah-Nya diatas dunia ini. Tugas kekhalifahan inilah yang apabila dijalankan dengan semestinya dengan dilandasi oleh petunjuk-petunjuk yang Dia sampaikan dalam bentuk wahyu tekstual maupun pemahaman kita terhadap ayat-ayat universal-Nya, maka akan menjadi ibadah buat kita.

Sistematika kehidupan kita ini dimulai dari setetes mani yang bercampur untuk kemudian seiring dengan sunnatullah atau hukum alamnya, terus mengalami perkembangan tahap demi tahap sehingga menjadi sosok manusia sempurna. Itupun baru pada tahapan bayi kecil tak berdaya. Kemudin kita tunduk pada kaidah sunnatullah yang berproses sampai menjadi dewasa dan tua. Demikian seterusnya. Ini hendaknya menjadi bagian dari pembelajaran atas kedewasaan pola pikir dan pola pemahaman kita terhadap segala sesuatunya. Jika awalnya kita bertindak hanya karena ikut-ikutan, maka mulailah kita belajar kenapa kita melakukan sesuatu atau kenapa kita harus mempercayai sesuatu itu sebagai sebuah kebenaran. Demikian pula misalnya dalam hal ibadah, jika sebelumnya kita beribadah hanya karena mengharap surga atau takut karena neraka, maka belajarlah untuk mulai menyikapi fenomena surga dan neraka sebagai motivator kita kepada tingkat ibadah yang lebih tinggi lagi yaitu tingkat ibadah yang hanya berharap ridho-Nya Allah. Dengan demikian, maka tingkat keikhlasan kita beribadahpun secara berangsur-angsur tumbuh dengan sendirinya. Karena yang ada dipikiran kita selama ini, ibadah itu untuk menyenangkan Allah dan bukan untuk menyenangkan diri kita.

Salah atau tidak akhirnya kembali kepada seberapa jauh good-will kita melakukannya. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan surga dan nerakanya, tapi mulailah kita belajar untuk mencapai maqam lebih tinggi dari sekedar itu. Anggaplah ibadah karena mengharap pahala tertentu itu adalah ibadahnya anak kecil, dan karena kita sudah tidak lagi kecil, maka kitapun harus meng-update sasaran ibadah kita. Demikianlah yang seharusnya seperti yang tercantum dalam surah 6 ayat 162. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Robb semesta alam” – Qs. al-An’am 6:162

Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]


Niat 

Sahabat-sahabat Rasulullah adalah generasi terbaik ummat ini. Mereka terus belajar dari Rasulullah apa-apa saja yang harus dikerjakan dan apa saja yang mesti mereka tinggalkan. Soal menjaga lurusnya niat di dalam hidup dan perjuangan mereka, tak bosan-bosan para sahabat itu berguru kepada Rasulullah. Seperti dikisahkan oleh Umamah radhiyallahu ‘anhu.

Ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, Apakah pendapat engkau tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan popularitas diri. Kelak, apa yang akan ia dapat di akhirat?” Rasulullah menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa “.Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali. Tetapi Rasulullah tetap menjawabnya, “Ia tidak menerima apa-apa!” Kemudian beliau bersabda, Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang mengharapkan ridha-Nya. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Dalam kesempatan lain Abu Said Al-Khudri telah mengambil pelajaran berharga dari Rasulullah pada saat haji wada’.

“Tiga perkara yang menjadikan seorang mukmin tidak akan menjadi pengkhianat: Ikhlas beramal karena Allah, memberikan nasihat yang baik kepada para pemimpin kaum Muslimin, dan senantiasa komitmen terhadap jama’ah “.(HR Ibnu Hibban).
Seni menjaga lurusnya niat tidaklah mudah. Karenanya, seperti dikatakan oleh Fudhail bin “lyadh “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, dan beramal karena manusia adalah syirik. Maka, ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya “.

Urgensi niat sangatlah mendasar bagi kehidupan dan perjuangan setiap mukmin. Dengannya segala amal akan diukur. Inilah yang didengar dan diamalkan Umar bin Khatab dari Rasulullah, “Bahwa amal itu tergantung niat-nya”. Maka, tak berlebihan kalau Imam Syafi’i menyebut hadits Rasulullah ini adalah sepertiga dari seluruh ilmu.
Niat yang baik sering mengubah sesuatu yang mubah menjadi ibadah, Wajar bila perhatian para salafusshalih kepada niat begitu besar. Dengarlah apa yang dikatakan oleh Yahya bin Katsir, “Pelajarilah niat dalam beramal, karena niat itu lebih cepat sampai kepada Allah dari pada amal yang engkau lakukan itu “.

Meski upaya menjaga lurusnya niat telah diupayakan, namun mereka tak merasa puas dan cukup begitu saja. Iman yang benar telah menjadikan mereka memadukan antara rasa pengharapan dan kecemasan. Karenanya, mereka masih menambahinya dengan istighfar. Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Perbanyaklah istighfar di rumahmu, di ruang makan, di tengah perjalanan, di pasar, tempat kerja, di pertemuan-pertemuan dan di mana pun dirimu berda saat itu. Sebab engkau tidak akan tahu di temapt manakah turunnya maghfirah Rabb-mu”. Nah bagaimana dengan kita?

Sebuah masyarakat muslim yang utuh menjadi dambaan setiap sahabat. Tindak tanduk ucapan mereka bisa menjadi cermin bagi ucapan di atas. Apalagi sebuah jama’ah da’wah. Ibnu Mas’ud, misalnya, pernah memberi nasehat, “Wahai sekalian manusia, hendaklah kalian selalu taat dengan jama’ah kaum muslimin. Karena sesungguhnya ia adalah tali Allah yang kokoh yang diperintahkan untuk dipegang. Sesungguhnya apa yang tidak engkau sukai dalam kebersamaan di jama’ah itu, adalah lebih baik dari apa yang engkau sukai dalam keadaan terpecah belah “.

Hal serupa juga dilakukan para sahabat lainnya. Para sahabat lebih suka memutuskan masalah dengan syura, agar barisan masyarakat muslim tetap rapat. Suatu hari Umar ber-pidato,

“Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan untuk Islam ini orang-orang yang layak untuk memeluknya. Lalu Allah menyatukan hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Seorang muslim dengan muslim yang lain bagaikan satu tubuh. Bila yang satu terkena sakit yang lain tak akan tinggal diam. Karenanya, sangat layak bila mereka menjadikan perkara mereka diputuskan dengan syura bersama para ahli di antara mereka,”

Demikian Imam Ibnu Jarir meriwayatkan. Karenanya, Umar bin Khatab dalam menjalankan pemerintahannya, menjadikan para sahabat senior, khususnya pengikut perang Badr, untuk menjadi tim penasihatnya. Mereka bahkan tak boleh tinggal jauh di luar Madinah.

Saat genting setelah wafatnya Rasulullah juga menjadi waktu penting para sabahat untuk menjaga agar barisan da’wah Islam tetap utuh, seperti yang ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib, misalnya. Kisahnya, setelah Abu Bakar di angkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan menemui Ali seraya berkata, “Engkau dikalahkan dalam urusan kekuasaan ini oleh suku Quraisy yang jumlah warganya sedikit? Demi Allah, kalau engkau mau, kami akan memenuhi kampungnya dengan laki-laki dan kuda-kuda (menyerbu), jika engkau mau “. Mendengar itu, Ali bin Abi Thalib menjawab lantang, “Apakah engkau ini masih menjadi musuh Islam dan kaum muslimin. Sesungguhnya semua ini (pengangkatan Abu Bakar) tak merugikan Islam dan umatnya sedikitpun. Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa Abu Bakar memang layak untuk itu “.

Untuk menjaga agar masyarakat mereka selalu rapi, para sahabat itu selalu berusaha untuk dekat antara yang satu dengan yang lain. Menghindari perselisihan dan mengutamakan persatukan. Sebagai pengikatnya, mereka menepatkan kerinduan akan ridha Allah untuk mengalahkan potensi-potensi konflik di antara mereka. Seperti yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud, “esungguhnya Allah, dengan keadilan dan pengetahuan-Nya menjadikan kebahagian dan suka cita di dalam sikap yang yakin dan ridha, dan menjadikan duka dan nestapa di dalam sikap ragu-ragu dan benci terhadap ketentuan-Nya”.

Mereka saling menghibur bila ada yang diuji oleh Allah. Suatu hari Ali bin Abi Thalib menemui ‘Adi bin Hatim yang nampak kusut masai. Raut mukanya menggambarkan kesedihan yang berat. “Mengapa engkau tampak bersedih hati?” Adi menjawab Bagaimana aku tidak sedih, sedangkan dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali menyahut, “Barang siapa ridha terhadap takdir Allah, maka takdir itu tetap berlaku atasnya dan ia mendapatkan pahala-Nya. Dan barangsiapa yang tidak ridha terhadap takdir-Nya, maka takdir itu pun tetap berlaku atasnya dan terhapuslah pahalanya”.

Sikap ini juga kemudian diwarisi oleh para tabi’in. Lihatlah apa yang dikatakan Hasan Al-Bashri, “Barangsiapa yang ridha terhadap apa yang sudah menjadi suratan hidupnya, maka jiwanya akan merasa lapang menerima hal itu, dan Allah pun akan memberkahinya. Tetapi, barangsiapa yang tidak ridha, maka pandangannya menjadi sempit dan Allah juga tidak memberkahinya”.

Selain itu, para sahabat itu juga menjauhi berlaku curang. Al-Baihaqi meriwayatkan, bahwa setiap tahun Abdullah bin Rawahah datang menemui Yahudi Khaibar untuk menetapkan berapa bagian dari panen kurma yang harus mereka setor kepada Rasulullah. Abdullah bin Rawahah menetapkan separoh hasil panen yang harus disetorkan. Maka mereka mengeluh. Orang-orang Yahudi itu juga berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah. Dengan marah Abdullah menolak, “Wahai musuh-musuh Allah. Kalian akan memberiku makanan kotor? Demi Allah, aku ini datang dari orang yang paling tercinta di antara seluruh manusia. Dan sesungguhnya kalian lebih aku benci dari pada kera dan babi. Namun ketahuilah, kebencianku kepada kalian, juga kecintaanku kepada Rasulullah, tidak akan membuatku berbuat tidak adil dengan menerima suap itu”. Mendengar itu orang-orang Yahudi itu berkata “Dengan sikap seperti itulah langit dan bumi tegak”.

Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]


Hati 

Setiap manusia memiliki hati dan perasaan, baik rasa marah, rasa benci, rasa memiliki, rasa rindu, rasa cinta maupun rasa percaya (iman) dan rasa mengingkari (kufur) keberadaan Allah. Kalau kita menyadari, setiap apa yang kita lakukan dan kita ucapkan muncul dari sebuah perasaan. Dan dari perasaan (afeksi) inilah muncul sebuah tindakan (konasi). Namun selama ini hal yang menyangkut perasaan (hati) masih disangkut pautkan hanya pada persoalan agama dan Tuhan. Padahal segala bentuk tindakan pasti berasal dari apa yang dirasakan, apakah peasaan baik maupun perasaan buruk.

Ditegaskan oleh ahli agama, terutama yang memperhatikan masalah akhlak kepada Allah, berpendapat bahwa hati manusia merupakan kunci pokok pembahasan menuju pengetahuan tentang Allah (makrifatullah). Hati juga berperan sebagai pintu dan sarana Allah memperkenalkan kesempurnaann diri-Nya. Sebagaimana sabda Nabi mengatakan:
Tidak dapat memuat zat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali ‘hati’ hamba-Ku yang mukmin lunak dan tenang. (HR. Abu Dawud)

Hadist ini menyiratkan bahwa, pengetahuan tentang Allah tidak bisa sekedar difahami oleh pikiran dan pengetahuan yang berasal dari respons indrawi, akan tetapi hanya bisa dirasakan dan difahami oleh hatinya. Karena indrawi hanya bisa menangkap sesuatu yang terbatas. Baik penglihatan, pendengaran dan penciuman, hanya mampu ditangkap oleh indria dengan ukuran tertentu. Selebihnya dari ukuran tersebut tidak akan tertangkap. Sebaliknya hati mampu menangkap sesutu yang tersembunyi dibalik materi, seperti perasaan senang, rasa indah terhadap sebuah benda (art), rasa cinta terhadap sesama maupun kepada Tuhan. Sehingga Allah memberikan isyarat akan hal ini dalam Firmannya:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami dan mereka mempunuai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melhat dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakan untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raaf [7]:179).

Apakah mereka tidak pernah bepergian dimuka bumi ini supaya hatinya tersentak memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang di telinganya untuk di dengarkan? Sebenarnya yang buta bukan mata melainkan ‘hati’ yang ada dalam dada. (QS. Al Hajj [22]:46).

Demikian juga rasa iman, tidaklah dikatakan orang beriman jika hanya sampai kepada pemahaman pengetahuan membaca kitab secara tertulis sebagaimana ahli kitab yang terdahulu yang telah tercabut rasa imannya. Kenyataan ini pernah terjadi pengakuan orang Arab Badui yang mendatangi Rasulullah, bahwa dirinya telah beriman kepada Allah. Namun pengakuan orang Badui tersebut dibantah oleh Allah yang disampaikan melalui Rasulullah.

Orang-orang Arab badui itu berkata: Kami telah beriman. Katakan (kepada mereka) kamu belum beriman, tetapi kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu (QS, Al Hujurat,49:14)

Dan Iman itu sesungguhhnya diturunkan oleh secara langsung dan dapat difahami dan dirasakan oleh yang menerimanya.

….tetapi Allah-lah yang menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci keada kekafiran dan kedurhakaan. Mereka itulah yang orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagaimana karunia dan nikmat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi bijaksana. (QS. Al Hujuraat [49]:7-8).

Penggunaan istilah hati dalam Al Qur’an menandakan pentingnya hati sebagai tempat yang diperhatikan oleh Allah Swt. karena tempat perasaan baik maupun buruk.
Al Qur’an menggunakan istilah Qalb (hati) dan menyebutnya sebanyak 132 kali. Makna dasar kata qalb ialah membalik, kembali, pergi maju mundur, berubah, naik turun. Diambil dari latar belakangnya, hati mempunyai sifat yang selalu berubah. Sebab hati adalah tempat dari kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan. Hati adalah tempat dimana Tuhan mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada manusia. Kehadiran-Nya terasa didalam hati, dan wahyu maupun ilham diturunkan ke dalam hati para nabi maupun wali-Nya. Allah berfirman :
…ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membuat batasan antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-nyalah kamu sekalian akan dikumpulkan (QS. Al Anfal [8]:24).
….maka Jibril telah menurunkannya (Al qur’an) kedalam hati nuranimu dengan izin Allah, membenarkan wahyu sebelumnya, menjadi peunjuk dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman (QS. ,Al baqarah [2]:97).

Hati adalah pusat pandangan, pemahaman dan ingatan (dzikir). Penegasan pengertian tersebut jelas sekali difirmankan Allah dalam Al Qur’an :
Apakah mereka tidak pernah bepergian dimuka bumi ini supaya hatinya tersentak memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang ditelinganya untuk didengarkan? Sebenarnya yang buta bukan mata, melainkan hati yang ada didalam dada (QS. Al Hajj [22]:46).
Janganlah kamu turutkan orang yang hatinya telah kami alpakan dari mengingat Kami (zikir), orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya saja,dan keadaan rang itu sudah keterlaluan (QS. Al Kahfi [18]:28).

Memang hati mereka telah kami tutup hingga mereka tidak dapat memahaminya, begitu pula liang telinganya telah tersumbat…. ( QS. Al Kahfi [18]:57).
Apakah mereka tidak merenungkan isi Al Al Qur’an? atau adakah hati mereka yang terkunci? (QS. Muhammad [47]:24).

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi,mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raaf,7:179).

Iman tumbuh dan bersemayam di dalam hati. dan didalam hati pula tumbuhnya kekafiran, kemungkaran serta penyelewengan dari jalan yang lurus. Oleh sebab itu Allah tetap menegaskan, bahwa perilaku ibadah seseorang tidak bisa hanya dilihat dari sekedar syarat sah rukun syariat saja, akan tetapi harus sampai kepada pusat iman, yaitu hati. Karena sering dan banyaknya ibadah yang kita lakukan, kerap kali kita bahkan peribadatan selalu menuntut pemurnian hati (keikhlasan). Padahal kemurnian hati inilah yang akan menghasilkan sesuatu yang haq, serta memberi dampak kepada iman seseorang secara langsung.

Iman yang benar mempunyai ciri tersendiri dan diakui oleh Al qur’an. Ia tertegun dan terharu tatkala nama Allah disebut. Sehingga terdorong ingin meluapkan kegembiraan dan kerinduannya seraya bersujud dan menangis. Hal ini disebabkan adanya kesadaran jiwa yang mampu menembus sinar ilahy yang selalu memancar kepada jiwa yang mau mendekat kepada Allah. Dengan hatilah seorang mukmin mampu menangkap petunjuk yang diturunkan oleh Allah Swt. Dan dengan hati pula Allah menurunkan kesesatan seseorang yang mengingkari Allah.

Allah menilai segala perbuatan manusia ditentukan oleh niat yang ada dalam hati. Rasulullah menuntun kita untuk bekerja dengan hati. Karena Allah hanya mau menerima segala perbuatan yang diniatkan dengan sungguh-sungguh, dan menolak perbuatan orang-orang yang hatinya munafiq. Seperti diungkapkan dalam Al Qur’an :
Innal munafiqiini yukhadi’uunallah,wa hua yakhidi’uhum …(QS An Nisaa’ [4]:142)

Abu Sangkan
[sumber: milis dzikrullah@yahoogroups.com]

Artikel dari http://zulkarnaen.wordpress.com



Thursday, February 19, 2015

Janji Allah bagi orang yang akan menikah

Ngomongin masalah pernikahan dan persiapan emang penuh pertimbangan.., ketika seseorang baik pria atau wanita akan menikah, biasanya akan timbul perasaan yang bermacam - macam. Ada rasa gundah, resah, risau, bimbang, termasuk juga tidak sabar menunggu datangnya sang pendamping, dll. Bahkan ketika dalam proses taaruf sekalipun masih ada juga perasaan keraguan.

Saya pernah dapat buku sebagai souvenir pernikahan seorang teman,  isinya lumayan menambah masukan bagi diri saya dalam hal pernikahan..

Berikut ini sedikit saya  share dengan rekan-rekan agar dapat meredam perasaan negatif dan semoga mendatangkan optimisme dalam mencari teman hidup. Semoga bermanfaat buat saya pribadi dan rekan-rekan semuanya. Saya memohon kepada Allah semoga usaha saya ini mendatangkan pahala yang tiada putus bagi saya dan rekan-rekan.

Inilah kabar gembira berupa janji Allah bagi orang yang akan menikah. Bergembiralah wahai saudaraku…

1. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (An Nuur : 26). Bila ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka perbaikilah diri. Hiduplah sesuai ajaran Islam dan Sunnah Nabi-Nya. Jadilah laki-laki yang sholeh, jadilah wanita yang sholehah. Semoga Allah memberikan hanya yang baik buat kita. Amin.

2. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (An Nuur: 32) Sebagian para pemuda ada yang merasa bingung dan bimbang ketika akan menikah. Salah satu sebabnya adalah karena belum punya pekerjaan. Dan anehnya ketika para pemuda telah mempunyai pekerjaan pun tetap ada perasaan bimbang juga. Sebagian mereka tetap ragu dengan besaran rupiah yang mereka dapatkan dari gajinya. Dalam pikiran mereka terbesit, “apa cukup untuk berkeluarga dengan gaji sekian?”. Ayat tersebut merupakan jawaban buat mereka yang ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan karena alasan ekonomi. Yang perlu ditekankan kepada para pemuda dalam masalah ini adalah kesanggupan untuk memberi nafkah, dan terus bekerja mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan besaran rupiah yang sekarang mereka dapatkan. Nantinya Allah akan menolong mereka yang menikah. Allah Maha Adil, bila tanggung jawab para pemuda bertambah – dengan kewajiban menafkahi istri-istri dan anak-anaknya, maka Allah akan memberikan rejeki yang lebih. Tidakkah kita lihat kenyataan di masyarakat, banyak mereka yang semula miskin tidak punya apa-apa ketika menikah, kemudian Allah memberinya rejeki yang berlimpah dan mencukupkan kebutuhannya?

3. “Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160) [1] Bagi siapa saja yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka berhak mendapatkan pertolongan dari Allah berdasarkan penegasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Dan pertolongan Allah itu pasti datang.

4. “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar Ruum : 21)

5. “Dan Tuhanmu berfirman : ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’ ”. (Al Mu’min : 60) Ini juga janji Allah ‘Azza wa Jalla, bila kita berdoa kepada Allah niscaya akan diperkenankan-Nya. Termasuk di dalamnya ketika kita berdoa memohon diberikan pendamping hidup yang agamanya baik, cantik, penurut, dan seterusnya. Dalam berdoa perhatikan adab dan sebab terkabulnya doa. Diantaranya adalah ikhlash, bersungguh-sungguh, merendahkan diri, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dll. [2] Perhatikan juga waktu-waktu yang mustajab dalam berdoa. Diantaranya adalah berdoa pada waktu sepertiga malam yang terakhir dimana Allah ‘Azza wa Jalla turun ke langit dunia [3], pada waktu antara adzan dan iqamah, pada waktu turun hujan, dll. [4] Perhatikan juga penghalang terkabulnya doa. Diantaranya adalah makan dan minum dari yang haram, juga makan, minum dan berpakaian dari usaha yang haram, melakukan apa yang diharamkan Allah, dan lain-lain. [5] Manfaat lain dari berdoa berarti kita meyakini keberadaan Allah, mengakui bahwa Allah itu tempat meminta, mengakui bahwa Allah Maha Kaya, mengakui bahwa Allah Maha Mendengar, dst. Sebagian orang ketika jodohnya tidak kunjung datang maka mereka pergi ke dukun-dukun berharap agar jodohnya lancar. Sebagian orang ada juga yang menggunakan guna-guna. Cara-cara seperti ini jelas dilarang oleh Islam. Perhatikan hadits-hadits berikut yang merupakan peringatan keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa yang mendatangi peramal / dukun, lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam”. (Hadits shahih riwayat Muslim (7/37) dan Ahmad). [6] Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka janganlah kamu mendatangi dukun-dukun itu.” (Shahih riwayat Muslim juz 7 hal. 35). [7] Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya jampi-jampi (mantera) dan jimat-jimat dan guna-guna (pelet) itu adalah (hukumnya) syirik.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad dan Hakim). [8]

6. ”Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”. (Al Baqarah : 153) Mintalah tolong kepada Allah dengan sabar dan shalat. Tentunya agar datang pertolongan Allah, maka kita juga harus bersabar sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga harus shalat sesuai Sunnahnya dan terbebas dari bid’ah-bid’ah.

7. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Alam Nasyrah : 5 – 6) Ini juga janji Allah. Mungkin terasa bagi kita jodoh yang dinanti tidak kunjung datang. Segalanya terasa sulit. Tetapi kita harus tetap berbaik sangka kepada Allah dan yakinlah bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Allah sendiri yang menegaskan dua kali dalam Surat Alam Nasyrah.

8. “Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad : 7)  Agar Allah Tabaraka wa Ta’ala menolong kita, maka kita tolong agama Allah. Baik dengan berinfak di jalan-Nya, membantu penyebaran dakwah Islam dengan penyebaran buletin atau buku-buku Islam, membantu penyelenggaraan pengajian, dll. Dengan itu semoga Allah menolong kita.

9. “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (Al Hajj : 40)

10. “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al Baqarah : 214) Itulah janji Allah. Dan Allah tidak akan menyalahi janjinya. Kalaupun Allah tidak / belum mengabulkan doa kita, tentu ada hikmah dan kasih sayang Allah yang lebih besar buat kita. Kita harus berbaik sangka kepada Allah. Inilah keyakinan yang harus ada pada setiap muslim. Diantara janji tersebut ada rahasia lebih Indah…… Usia Lebih Panjang karena Menikah ! Cepat para lajang yang masih tetap sendiri, cobalah menikah! Karena berdasarkan survei terhadap usia dan status seseorang, ternyata yang menikahlah yang usianya lebih panjang. Pernikahan tampaknya baik untuk kesehatan pria sehingga pria menikah jarang yang meninggal lebih cepat daripada pria yang tidak menikah. Profesor Andrew Oswald dan Dr Jonathan Gardner dari Universitas Warwick mengamati data pada lebih dari 12.000 orang dewasa dari Survei Rumah Tangga Inggris dan Survei Pensiunan Inggris. Penelitian yang tidak mengaitkan faktor, seperti merokok dan minum, pria menikah menjadi 6,1% berkurang kemungkinannya untuk meninggal lebih dari tujuh tahun dibandingkan pria lajang. Keuntungan wanita menikah dari kematian sedikit lebih kecil risikonya hanya 2,9%. Para peneliti telah menemukan bahwa pria dan wanita menikah lebih sehat dibandingkan para lajang, dan penelitian Warwick menyatakan bahwa pasangan mungkin mengurangi stres pria dan mendorongnya menjalankan gaya hidup yang sehat. Tetapi nampaknya itu bukan satu-satunya faktor, kata mereka. Secara tepat bagaimana pernikahan bisa begitu menakjubkan masih tetap misterius. Bisa jadi hubungan personal yang demikian kuat meningkatkan kesehatan mental dan membantu seseorang untuk menangkis kesehatan fisik. Mungkin penelitian lebih lanjut masih diperlukan. Menurut Oswald penemuan ini menghapus pendapat yang mengatakan bahwa orang kaya lebih lama hidup. “Lupakanlah uang”.Sudah jelas dari data bahwa pernikahan, bukan uang, yang membuat orang hidup,” katanya dalam pernyataan. Tetapi menurut Anda bagaimana?

Diantara keindahan ada yang harus dingat…
19 yang harus diingat

  1. Ketika akan menikah Janganlah mencari isteri, tetapi carilah Ibu bagi anak-anak kita. Janganlah mencari suami, tetapi carilah Ayah bagi anak-anak kita.
  2. Ketika melamar Anda bukan sedang meminta kepada orangtua/wali si gadis, tetapi meminta kepada Allah melalui orangtua/wali si gadis.
  3. Ketika akad nikah Anda berdua bukan menikah di hadapan penghulu, tetapi menikah di hadapan Allah.
  4. Ketika resepsi pernikahan Catat dan hitung semua tamu yang datang untuk mendo’akan anda, karena anda harus berpikir untuk mengundang mereka semua dan meminta maaf apabila anda berpikir untuk bercerai karena menyia-nyiakan do’a mereka.
  5. Sejak malam pertama Bersyukur dan bersabarlah Anda adalah sepasang anak manusia dan bukan sepasang malaikat.
  6. Selama menempuh hidup berkeluarga Sadarilah bahwa jalan yang akan dilalui tidak melulu jalan bertabur bunga tapi juga semak belukar yang penuh dengan onak dan duri.
  7. Ketika biduk rumah tangga oleng Jangan saling berlepas tangan, tapi sebaliknya justeru semakin erat berpegangan tangan.
  8. Ketika belum memiliki anak Cintailah isteri atau suami anda 100%.
  9. Ketika telah memiliki anak Jangan bagi cinta anda kepada (suami) isteri dan anak anda, tetapi cintailah isteri atau suami anda 100% dan cintai anak-anak anda masing-masing 100%.
  10. Ketika ekonomi keluarga belum membaik Yakinlah bahwa pintu rizki akan terbuka lebar berbanding lurus dengan tingkat ketaatan suami dan isteri.
  11. Ketika ekonomi membaik Jangan lupa akan jasa pasangan hidup yang setia mendampingi kita semasa menderita.
  12. Ketika anda adalah suami Boleh bermanja-manja kepada isteri tetapi jangan lupa untuk bangkit secara bertanggung jawab apabila isteri membutuhkan pertolongan anda.
  13. Ketika anda adalah isteri Tetaplah berjalan dengan gemulai dan lemah lembut, tetapi selalu berhasil menyelesaikan semua pekerjaan.
  14. Ketika mendidik anak Jangan pernah berpikir bahwa orangtua yang baik adalah orangtua yang tidak pernah marah kepada anak, karena orangtua yang baik adalah orangtua yang jujur kepada anak.
  15. Ketika anak bermasalah Yakinlah bahwa tidak ada seorang anakpun yang tidak mau bekerjasama dengan orangtua, yang ada adalah anak yang merasa tidak didengar oleh orangtuanya.
  16. Ketika ada pil Jangan diminum, cukupkanlah suami sebagai obat.
  17. Ketika ada wil Jangan dituruti, cukuplah isteri sebagai pelabuhan hati.
  18. Ketika memilih potret keluarga Pilihlah potret keluarga sekolah yang berada dalam proses pertumbuhan menuju potret keluarga masjid.
  19. Ketika ingin langgeng harmonis gunakanlah formula 6 k : Ketaqwaan kasih sayang kesetiaan komunikasi dialogis keterbukaan kejujuran Setelah menikah, hidup tidaklah sama seperti dulu…. Menerapkan Kebiasaan sehat dalam keluarga Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah ini mengisyaratkan kita sebagai orangtua untuk menularkan kebiasaan yang baik kepada anak-anak, salah satunya gaya hidup sehat. Apa saja yang bisa dilakukan ?

Demikian sedikit yang bisa saya share dengan rekan-rekan, mudah-mudah Allah swt memberikan berkah dan hidayah-Nya untuk kita semua.. amin..

Warm regards,
Medi

Friday, November 7, 2014

MENGATASI KEJENUHAN DALAM BERIBADAH


Setiap orang yang berkompetensi dalam kebaikan tentu merasakan kelelahan dalam medan tersebut, demikian pula halnya dengan aktivitas yang membutuhkan waktu juga merasakan kelelahan, kelesuan dan kejenuhan karena hal demikian sudah merupakan sifat kewajaran alami yang dimiliki oleh manusia, kecuali Malaikat mereka semata-mata menyembah dan mengabdi ke hadirat Allah SWT. Tanpa merasa letih, lemah dan jenuh. Hal ini diungkapkan Allah dalam firman-Nya :

Artinya : Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. 
(Al-Anbiya’ 19-20)

Demikianlah kondisi malaikat, sedang manusia sesungguhnya mereka itu lemah dalam menelusuri pencapaian menuju Allah SWT, kadangkala suka melanggar apa yang telah ditentukan bahkan menghapus ketentuan yang ada.

Nafsu itu memiliki dua arus yang kontradiksi dan bertolak belakang dan tidak ada ketiganya yaitu melaksanakan ketentuan hukum-hukum Allah atau meninggalkannya dan masing-masing telah mengetahui mekanisme kerjanya, sebagaimana telah dikatakan pakar psikologi Ibnu Qoyim Aj-Jauzi ra. “sesungguhnya hati itu memiliki dorongan emosi yang sangat kuat melaksanakan suatu pekerjaan, juga dorongan emosi yang kuat untuk meninggalkan suatu pekerjaan”. Maka jagalah hati itu disaat kuat dorongan emosinya dan pengaruhilah ia disaat mengalami penurunan  kemauan oleh emosinya untuk melaksanakan suatu pekerjaan.

Oleh karenanya, hendaklah kita selalu berusaha untuk dapat menyiasati jiwa kita sehingga dapat  melanjutkan perjalanan dalam menempuh pendakian mencapai pendekatan diri kepada Allah SWT.

KONDISI IQBAL (kuatnya dorongan untuk beribadah)
Disaat emosi kita sangat kuat begelora untuk melaksanakan kebaikan, hendaklah kita berupaya semaksimal mungkin memperbanyak amal saleh dan ibadah lainnya, baik dengan ibadah nawafil (sunah) atau membiasakan diri melaksanakan di malam hari dan siang hari.

KONDISI IDBAR (kuatnya dorongan untuk tidak beribadah)
Disaat emosi kita lemah, maka paksakan diri untuk melaksanakan yang fardlu dan wajib saja sambil berusaha mempengaruhinya dengan lemah lembut sehingga dapat dilaksanakan dengan baik. Apabila telah dilaksanakan maka tekan dan usahakan untuk dapat melaksanakan ibadah lebih lanjut.

Para Sahabat Rasulullah juga mengalami problema dalam masa keletihan, kelelahan dan kejenuhan ini. Salah seorang Sahabat menghadap Rasulullah dan berkata Wahai Rasulullah tahukan engkau apa yang harus kami lakukan jika merasa lelah dan jenuh dalam melaksanakan suatu amal ?

Rasulullah Saw. Bersabda Artinya : Tahanlah dirimu dari berbuat jahat terhadap sesama manusia, sesungguhnya yang demikian itu merupakan shadaqah  dari kamu untuk dirimu sendiri

Itulah nasehat mulia dan bijaksana dari baginda Rasulullah yang mengarahkan manusia tatkala merasa jenuh dan enggan untuk beramal, suatu pekara yang mudah cukup dengan menahan diri dari berbuat kejahatan, karena yang demikian itu merupakan shadaqah bagi diri sendiri.

Hal ini merupakan seni tersendiri dalam berbuat kebajikan  terhadap individu, disaat mengalami rasa jenuh dan lelah dalam beramal. Janganlah anda bersifat keras terhadap diri sendiri bagai kayu yang keras, kelak ia akan mudah patah terbelah, atau jangan pula lemah bagai jeruk karena kelak akan mudah diperas. Bersikaplah anda sebijak mungkin dalam berinteraksi dengan jiwa anda. Dan sudah sewajarnyalah kalau kita mengalami rasa lelah di tengah perjalanan namun demikian berusahalah sedikit tidur.